Jumat, 23 November 2012

Telaah Kritis Rehabilitasi Anak Berkebutuhan Khusus. "Metode Pengajaran Bahasa Bagi Anak Tunarungu"


GARIS BESAR ISI ARTIKEL

Metode Pengajaran Bahasa Bagi Anak Tunarungu


KLASIFIKASI DAN JENIS KETUNARUNGUAN
SERTA METODE PENGAJARAN BAHASA
BAGI ANAK TUNARUNGU
ditulis oleh Administrator Dinas Pendidikan Luar Biasa Provinsi Jawa Barat

Ada tiga jenis utama ketunarunguan menurut lokasi ganguannya (Easterbrooks;1997):
1.      Conductive loss.
2.      Sensorineural loss.
3.      Central auditory processing disorder.

Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi, ketunarunguan dibedakan menjadi (Ashman dan Elkins;1994) :
1.      Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment)
2.      Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment)
3.      Ketunarunguan berat (severe hearing impairment)
4.      Ketunarunguan berat sekali (profound hearing impairment)

Metode dan Pendekatan Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Pilihan sistem komunikasi harus ditetapkan atas dasar individual, dengan mempertimbangkan karakteristik anak, sumber-sumber yang tersedia, dan komitmen keluarga anak terhadap metode komunikasi tertentu.

Metode Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu

1)   Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan “membaca” ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa. Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Delapan bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok konsonan diletakkan pada empat posisi di sekitar wajah yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal. Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat berbicara, isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak (Caldwell, 1997). Tujuan dari pengembangan komunikasi isyarat ini adalah untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak tunarungu dan memberi mereka fondasi untuk keterampilan membaca dan menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Keuntungan dari sistem isyarat ini adalah mudah dipelajari, dapat dipergunakan untuk mengisyaratkan segala macam kata maupun bunyi-bunyi non-bahasa.
2)   Belajar Bahasa Melalui Pendengaran
Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam). Prostesis cochlear implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).
Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi tidak berarti penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya.
3)   Belajar Bahasa secara Manual
Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah mengembangkan bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.
Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu

Pendekatan Auditori verbal
Pendekatan auditori-verbal bertujuan agar anak tunarungu tumbuh dalam lingkungan hidup dan belajar yang memungkinkanya menjadi warga yang mandiri, partisipatif dan kontributif dalam masyarakat inklusif. Pendekatan auditori verbal didasarkan atas prinsip mendasar bahwa penggunaan amplifikasi memungkinkan anak belajar mendengarkan, memproses bahasa verbal, dan berbicara. Opsi auditori verbal merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-prinsip yang harus dijalankan dalam pengajaran di kelas. Tujuannya adalah untuk mengajarkan prinsip-prinsip auditori verbal kepada orang tua yang mempunyai bayi tunarungu (Goldberg, 1997).
Prinsip-prinsip praktek auditori verbal itu adalah sebagai berikut:
§       Berusaha sedini mungkin mengidentifikasi ketunarunguan pada anak.
§       Memberikan perlakuan medis terbaik dan teknologi amplifikasi bunyi kepada anak tunarungu sedini mungkin.
§       Membantu anak memahami makna setiap bunyi yang didengarnya, dan mengajari orang tuanya cara membuat agar setiap bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang hari.
§       Membantu anak belajar merespon dan menggunakan bunyi sebagaimana yang dilakukan oleh anak yang berpendengaran normal.
§       Menggunakan orang tua anak sebagai model utama untuk belajar ujaran dan komunikasi lisan.
§       Berusaha membantu anak mengembangkan sistem auditori dalam (inner auditory system).
§       Memahami bagaimana anak yang berpendengaran normal mengembangkan kesadaran bunyi, pendengaran, bahasa, dan pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk membantu anak tunarungu mempelajari keterampilan baru.
§       Mengamati dan mengevaluasi perkembangan anak dalam semua bidang.
§       Mengubah program latihan bagi anak bila muncul kebutuhan baru.
§       Membantu anak tunarungu berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan maupun sosial bersama-sama dengan anak-anak yang berpendengaran normal dengan memberikan dukungan kepadanya di kelas reguler.
Keterampilan membacanya setara atau lebih baik daripada anak-anak berpendengaran normal (Robertson & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997).
Pendekatan Auditori Oral
Pendekatan auditori oral didasarkan atas premis mendasar bahwa memperoleh kompetensi dalam bahasa lisan, baik secara reseptif maupun ekspresif, merupakan tujuan yang realistis bagi anak tunarungu.
Elemen-elemen pendekatan auditori oral yang sangat penting untuk menjamin keberhasilannya mencakup:
§       Keterlibatan orang tua.
§       Upaya intervensi dini yang berfokus pada pendidikan bagi orang tua untuk menjadi partner komunikasi yang efektif.
§       Upaya-upaya di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan kelas.
§       Amplifikasi yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak efektif, penggunaan cochlear implant merupakan opsi yang memungkinkan.

Mengajari anak mengunakan sisa pendengaran yang masih dimilikinya untuk mengembangkan perolehan bahasa lisan merupakan hal yang mendasar bagi pendekatan auditori oral. Anak diajari keterampilan mendengarkan yang terdiri dari empat tingkatan, yaitu deteksi, diskriminasi, identifikasi, dan pemahaman bunyi. Karena tujuan pengembangan keterampilan mendengarkan itu adalah untuk mengembangkan kompetensi bahasa lisan, maka bunyi ujaran (speech sounds) merupakan stimulus utama yang dipergunakan dalam kegiatan latihan mendengarkan itu. Pengajaran dilakukan dalam dua tahapan yang saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik (mengembangkan keterampilan menangkap suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan tahapan fonologik (mengembangkan keterampilan memahami kata-kata, frase, dan kalimat).
Keuntungan utama pendekatan auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu berkomunikasi secara langsung dengan berbagai macam individu, yang pada gilirannya dapat memberi anak berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial.
TELAAH KRITIS ARTIKEL

Belajar Membaca melalui membaca ujaran. Dikatakan di artikel bahwa hal ini akan menyulitkan penyandang tunarungu yang masih dalam masa prabahasa. Tapi akan menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang dengan pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa.  Sangatlah benar apa yang dikatakan pada artikel. Terutama hal tersebut terjadi di Indonesia yang masih belum terlalu memperhatikan kondisi para penyandang atau mereka yang berkebutuhan khusus. Untuk mempermudah tunarungu dalam membaca ujaran dapat menggunakan cued speech, yaitu isyarat gerakan tangan untuk melengkapai membaca ujaran. Dimana terdapat 8 gerakan tangan seperti ada pada gambar berikut ini.

Ini berbeda dengan bahasa isyarat yang malah membuat tunarungu menjadi kelompok yang eksekutif dalam masyarakat. Dengan metode ini dapat mempermudah dari kedua belah pihak, antara yang orang yang bisa mendengar  dengan tunarungu. Selain itu, tidak serumit bahasa isyarat yang menuntut orang normal untuk lebih bertindak aktif dalam mempelajari bahasa mereka. Disini terjadi saling interaksi dan toleransi yang lebih baik antara orang yang bisa mendengar dengan tunarungu karena keduanya saling ambil peran aktif dalam mempelajari bahasa. Orang yang bisa mendengar mempelajari cued spech untuk mempermudah menerangkan sesuatu atau berkomunikasi dengan tunarungu dansi tunarungu juga secara sengaja belajar tentang struktur bahasa verbal orang yang bisa mendengar. Ini merupakan jalan tengah bagi Indonesia yang jika sampai sekarang belum dapat menerima tentang kehadiran bahsa isyarat sebagai bahasa komunikasi para tunarungu.
Diterangkan pula pada artikel bahwa penggunakan metode membaca ujaran dapat melatih keterampilan tunarungu dalam menulis dan membaca. Hal tersebut juga dapat membuka peluang yang baik bagi perkembangan tunarungu, terutama tunarungu di Indonesia. Dapat membantu tunarungu dalam berkembang di dalam masyarakat sebagai makhluk sosial yang sewajarnya orang lain yang bisa mendengar. Yang paling baik dalam bidang pendidikan dan pekerjaan yang bisa menopang hidupnya menjadi lebih baik.
Yang kedua adalah dengan metode Belajar Bahasa Melalui Pendengaran. Dikatakan bahwa penggunakan alat bantu dengar sangatlah membantu dan berpengaruh dalam proses ini. Tapi bagi masyarakat Indonesia yang memiliki tingkat perekonomian menengah kebawah bahwa tidak dipungkiri hanya beberapa tunarungu sajalah yang dapat menggunakan alat bantu dengar tersebut. Dikarenakan harganya yang mencapai puluhan juta. Itu merupakan salah satu faktor perbedaan proses perkembangan dan pertmbuhan yang dialami oleh tunarungu yang satu dengan tunarungu yang lain.
 Gambar 4.1 Alat Bantu Dengar
Selain menggunakan alat bantu dengar, ada cara lain dengan menggunakan atau melakukan pembedahan atau pemasangan choclear impant. Cara ini dilakukan dengan menggunakan operasi yang memakan biaya yang lebih mahal dibanding dengan alat bantu dengar. Lebih sulit lagi jika tunarungu yang berada di Indonesia yang memiliki ekonomi menengah ke bawah melakukan cara ini. Kecuali ada seorang dermawan yang mau untuk membiayai operasi tersebut. Akan tetapi penggunaan cochlear implant sangatlah efektif untuk menunjang metode belajar bahasa melalui pendengaran ini, terutama mereka yang memiliki jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat sekali.
Ada kelebihan, ada pula kekurangannya. Penggunaan cochlear implant memang lebih efektif dibandingkan dengan menggunakan alat bantu dengar dalam penyerapan suara dan bahasa. Namun pemasangan cochlear implant memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan alat bantu dengar. Penggunaan cochlear implant tidak memperbolehkan si pengguna melakukan banyak aktivitas fisik yang dapat memicu resiko terjadinya kerusakan alat cochlear implant tersebut yang kemudian dapat berdampak lebih buruk pada sistem pendengaran si tunarungu yang menggunakannya. Karena cochlear implant juga berhubungan dengan telinga bagian tengah dan dalam, lebih tepatnya di rumah siput. Penggunaan cochlear implant dapat di lihat pada gabar berikut ini.
Gambar 4.2 Cochlear Implant Gambar 4.3 Cochlear Implant
Bisa dilihat pada gambar bahwa kabel terhubung dengan rumah siput pada telinga. Ini yang menyebabkan si pengguna tidak diperbolehkan melakukan berbagai aktivitas.
Berbeda dengan cochlear implant, alat bantu dengar hanya ditempelkan atau di pasang pada bagian luar telinga dan tidak ada kabel atau alat yang betul-betul menghubungkan ke bagian telinga yang penting. Alat bantu dengar hanya dapat menangkap suara yang kemudian akan disalurkan lewat gendang telinga saja, tidak sampai ke telinga bagian dalam, seperti rumah siput. Sehingga si pengguna dapat lebih bebas bergerak dan melakukan aktivitas pengembangan. Secara psikologis, alat bantu dengar lebih efektif dari pada cochlear implant karena si tunarungu dapat melakukan aktivitas pengembangaan diri secara mandiri dan dapat lebih bisa berkembang lebih optimal.
 Gambar 4.4 Alat Bantu Dengar
Ketidakefektifan muncul lagi pada cochlear implant dikarenakan cochlear implant akan percuma terpasang jika syaraf tunarungu yang menghubungkan otak dengan telinga terputus. Demikian dikarenakan cochlear implant hanya terhubung dengan rumah siput pada telinga.

Metode berikutnya adalah dengan menggunakan Belajar Bahasa Secara Manual. Cara manual ini berkebang dengan menggunakan bahasa isyarat. Dengan bahasa isyarat, tunarungu lebih paham, jelas dan mengetahui gambaran sesuatu yang diisyaratkan padanya. Cara ini adalah cara yang paling fektif bagi tunarungu, tapi belum tantu kita,  yang bisa mendengar khususnya yang berada dan berdomisili di Indonesia yang masih belum terlalu memperhatikan perkembangan bahasa mereka, paham. Disisi lain pemerintah-pemerintah  luar negeri sudah mulai semakin lebih memperhatikan perkembangan ketunarunguan dan sudah banyak orang yang bisa mendengar dapat menggunakan bahasa isyarat. Namun entah mengapa di Indonesia belum diadakan pelaksanaan seperti itu. Akan tetapi, akhir-akhir ini sudah ada organisasi yang mulai bergerak dalam mensosialisasikan bahasa isyarat tersebut di beberapa kota di Indonesia, terutama di kota Solo. Dan telah beberapa masyarakat mulai tergerak untuk belajar berisyarat. Tapi pemerintah belum sampai tersentil oleh pergerakan itu.
Itulah metode-metode yang diajarkan pada anak tunarungu dalam meningkatkan perkembangannya dalam bahasa. Kemudian untuk menunjang pelaksanaan metode pembelajaran bahasa tersebut diperlukan pendekatan- terhadap anak tunarungu sehingga dalam perkembangan bahasanya menjadi lebih optimal. Pendekatan ini perlu dilakukan sedini mungkin pada anak.
Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan audio verbal dana audio oral. Dalam artikel dikatakan bahwa orangtua memiliki peran utama dalam pendekatan ini karena orang terdekat dengan anak tunarungu adalah para orangtuanya. Keduanya memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut, pedekatan audio oral bertujuan agar anak tunarungu dapat memperoleh bahasa dengan belajar membaca ujaran secara bahasa lisan, baik secara reseptif maupun ekspresif. Sedangkan pendekatan audio verbal lebih tepusat pada pemahaman anak tunarungu dalam mengerti, memahami, dan memaknai bahasa yang digunakan bahasa orang yang bisa mendengar yaitu bahasa verbal. Keduanya saling terikat dan saling mempengaruhi dalam peningkatan berbahasa pada anak tunarungu.
Selain berpengaruh pada perkembangan bahasa, kedua pendekatan ini berpengaruh pada peningkatan taraf kehidupan anak tunarungu kelak dalam berkompetisi dengan anak-anak yang dapat mendengar.

Selain menggunakan metode dan pendekatan yang dijelaskan pada artikel, ada terdapat metode-metode lain dalam meningkatkan kemampuan berbahasa pada anak tunarungu. Seperti yang telah dilaksanakan di Indonesia yaitu dengan Speech therapy. Speech therapy adalah letihan membetulkan bicara secara tepat yang diberikan kepada anak/peserta didik yang mengalami berbagai hambatan bicara, sehingga anak/[eserta didim diharapkan dapat berbicara dengan benar dan lancar.sebelum speech therapy, biasanya didahului dengan mencari macam kelainan, sebab kelainan bicara dan bahasa anak melalui berbagai tes, interview, dan observasi.
Pelaksanaan yang benar menjadi kewenangan seorang speech terapist. Namun, mengingat keterbatasan tenaga speech terapist, maka keterliatan uru PLB untuk memperbaiki bicara dan bahasa anak berkelainan yang membutuhkan adalh sangat penting. Disini peran guru PLB adalah sebagai berikut             :
a.       Mencari atau meneliti kelainan bicara atau bahasa.
Bila belum ada alat tes yang baku maka dapat ditempuh dengan tes berbisik. Selain itu juga mengamati kaeadaan organ bicara ,laterisasi, kesan tentang inteligensi, tingkah laku anak, dan sebagainya.
b.      Membuat diagnosis kelainan bicara bersama-sama tim rehabilitasi yang ada di sekolah.
c.       Menyusun program rehabilitasi.
d.      Berdasarkan program yang telah disusun, guru dapat melaksanakan sebagian trapi bicara atau bahasa. Diantaranya dengan    :
·         Memberikan latihan pernapasan anak
·         Memberikan latihan artikulasi
·         Memberikan latihan bahasa
·         Latihan phonasi, guna menghasilkan suara yang baik.
·         Melatih bicara anak, yang meliputi     :
o   Mengucapkan bunyi bahasa tertentu
o   Mengucapkan bunyi bahasa tertentu tersebut dalam kata
o   Stabilisasi dalam kata
o   Pemakaian kata dalam kalimat
o   Mengucapkan kalimat secara menolong
o   Penggunaan bunyi bahasa yang sering dipakai dalam dialog guru dan murid di kelas
o   Mengguakan bunyi bahasa dalam pembicaraan sehari-hari
·         Pelaksanaan terapi bicara
·         Konsultasi secara periodik dengan ahli terapi bicara
·         Memperlengkapi sarana terapi bicara atau bahasa di sekolahnya
·         Mengadakan pencatatan perkembangan anak/ peserta didik.
Selain terapis dan guru, peran orangtua juga sangat berpengaruh dalam perkembangan bahsa anak tunarungu.





KESIMPULAN

Dari Talaah Kritis yang sudah dibuat maka saya dapat menyimpulkan         :
Metode Pengajaran Bahasa Bagi Anak Tunarungu terdapat banyak. belajar bahasa melalui membaca ujaran, belajar bahasa melalui pendengaran, belajar bahasa secara manual merupakan beberapa metode yang telah digunakan. Belajar membaca melalui membaca ujaran ini memerlukan cued speech untuk mempermdah anak tunarungu dalam memahami kata. Belajar bahasa mealui pendengaran bisa dilakukan dengan menggunakan alat bantuan, seperti alat bantu dengar atau menggunakan pemasangan cochlear implant. Dan belajar behasa secara manual dengan menggunakan bahasa manual tunarungu, yaitu bahasa isyarat. Selain itu, speech therapy juga merupakan salah satu metode yang mengajarkan anak tunarungu dalam berbahasa. Dan itu sudah terlaksana di Indonesia.
Untuk menunjang keberhasilan anak tunarungu dalam meningkatkan kemampuan berbahasa, diperlukakan suatu pendekatan tertentu yang dilakuakan oleh beberapa pihak. Pendekatan dilakuakan diantaranya oleh terapis, pendidik atau guru, dan orangtua dari anak tunarungu tersebut. Namun yang membawa peran paling penting di dalam proses pendekatan tersebut adalah orangtua. Dikarenakan orangtua memiliki lebih banyak waktu bersama dengan anak tunarungunya di bandingkan dengan pihak yang lain dan memiliki hubungan yang lebih dekat. Maka orangtua perlu diberikan pengarahan dan pembinaan pula dalam mendidik anak tunarungunya. Pemberian pembinaan dan engarahan tersebut dapat dilakukan oleh terapis yang bersangkutan atau pendidik atau guru dari anak tersebut.



LAMPIRAN

Metode Pengajaran Bahasa Bagi Anak Tunarungu


KLASIFIKASI DAN JENIS KETUNARUNGUAN
SERTA METODE PENGAJARAN BAHASA
BAGI ANAK TUNARUNGU
ditulis oleh Administrator Dinas Pendidikan Luar Biasa Provinsi Jawa Barat

Easterbrooks (1997) mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis utama ketunarunguan menurut lokasi ganguannya:
4.      Conductive loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat gangguan pada bagian luar atau tengah telinga yang menghambat dihantarkannya gelombang bunyi ke bagian dalam telinga.
5.      Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat kerusakan pada bagian dalam telinga atau syaraf auditer yang mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke otak.
6.      Central auditory processing disorder, yaitu gangguan pada sistem syaraf pusat proses auditer yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinganya itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pemerosesan auditer ini mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya.
Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi, Ashman dan Elkins (1994) mengklasifikasikan ketunarunguan ke dalam empat kategori, yaitu:
5.      Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB (desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.
6.      Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).
7.      Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB. Mereka sedikit memahami percakapan pembicara bila memperhatikan wajah pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.
8.      Ketunarunguan berat sekali (profound hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Mendengar percakapan normal tidak mungkin baginya, sehingga dia sangat tergantung pada komunikasi visual. Sejauh tertentu, ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu dengan kekuatan yang sangat tinggi (superpower).
Survey tahun 1981 di Australia menemukan bahwa 59% dari populasi tunarungu menyandang ketunarunguan ringan, 11% sedang, 20% berat, dan 10% tidak dapat dipastikan (Cameron, 1982, dalam Ashman dan Elkins, 1994).
Perlu dijelaskan bahwa decibel (disingkat dB) adalah satuan ukuran intensitas bunyi. Istilah ini diambil dari nama pencipta telepon, Graham Bel, yang istrinya tunarungu, dan dia tertarik pada bidang ketunarunguan dan pendidikan bagi tunarungu. Satu decibel adalah 0,1 Bel.
Bagi para fisikawan, decibel merupakan ukuran tekanan bunyi, yaitu tekanan yang didesakkan oleh suatu gelombang bunyi yang melintasi udara. Dalam fisika, 0 db sama dengan tingkat tekanan yang mengakibatkan gerakan molekul udara dalam keadaan udara diam, yang hanya dapat terdeteksi dengan menggunakan instrumen fisika, dan tidak akan terdengar oleh telinga manusia. Oleh karena itu, di dalam audiologi ditetapkan tingkat 0 yang berbeda, yang disebut 0 dB klinis atau 0 audiometrik. Nol inilah yang tertera dalam audiogram, yang merupakan grafik tingkat ketunarunguan. Nol audiometrik adalah tingkat intensitas bunyi terendah yang dapat terdeteksi oleh telinga orang rata-rata dengan telinga yang sehat pada frekuensi 1000 Hz (Ashman & Elkins, 1994).
Metode dan Pendekatan Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Perdebatan tentang cara terbaik untuk mengajar anak tunarungu berkomunikasi telah marak sejak awal abad ke-16 (Winefield, 1987). Perdebatan ini masih berlangsung, tetapi kini semakin banyak ahli yang berpendapat bahwa tidak ada satu sistem komunikasi yang baik untuk semua anak (Easterbrooks, 1997). Pilihan sistem komunikasi harus ditetapkan atas dasar individual, dengan mempertimbangkan karakteristik anak, sumber-sumber yang tersedia, dan komitmen keluarga anak terhadap metode komunikasi tertentu.

Metode Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Terdapat tiga metode utama individu tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, melalui pendengaran, dan dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga cara tersebut.

1)   Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan “membaca” ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang “tersembunyi” itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Delapan bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok konsonan diletakkan pada empat posisi di sekitar wajah yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal. Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat berbicara, isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak (Caldwell, 1997). Cued Speech dikembangkan oleh R. Orin Cornett, Ph.D. di Gallaudet University pada tahun 1965 66. Isyarat ini dikembangkan sebagai respon terhadap laporan penelitian pemerintah federal AS yang tidak puas dengan tingkat melek huruf di kalangan tunarungu lulusan sekolah menengah. Tujuan dari pengembangan komunikasi isyarat ini adalah untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak tunarungu dan memberi mereka fondasi untuk keterampilan membaca dan menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Cued Speech telah diadaptasikan ke sekitar 60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari sistem isyarat ini adalah mudah dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam), dapat dipergunakan untuk mengisyaratkan segala macam kata (termasuk kata-kata prokem) maupun bunyi-bunyi non-bahasa. Anak tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan cued speech ini mampu membaca dan menulis setara dengan teman-teman sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam Caldwell, 1997).
2)   Belajar Bahasa Melalui Pendengaran
Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).
Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.
3)   Belajar Bahasa secara Manual
Secara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah mengembangkan bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.

Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Pengajaran bahasa secara terprogram bagi anak tunarungu harus dimulai sedini mungkin bila kita mengharapkan tingkat keberhasilan yang optimal. Terdapat dua pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunarungu secara dini, yaitu pendekatan auditori-verbal dan auditori-oral.
Pendekatan Auditori verbal
Pendekatan auditori-verbal bertujuan agar anak tunarungu tumbuh dalam lingkungan hidup dan belajar yang memungkinkanya menjadi warga yang mandiri, partisipatif dan kontributif dalam masyarakat inklusif. Falsafah auditori-verbal mendukung hak azazi manusia yang mendasar bahwa anak penyandang semua tingkat ketunarunguan berhak atas kesempatan untuk mengembangkan kemampuan untuk mendengarkan dan menggunakan komunikasi verbal di dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Pendekatan auditori verbal didasarkan atas prinsip mendasar bahwa penggunaan amplifikasi memungkinkan anak belajar mendengarkan, memproses bahasa verbal, dan berbicara. Opsi auditori verbal merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-prinsip yang harus dijalankan dalam pengajaran di kelas. Tujuannya adalah untuk mengajarkan prinsip-prinsip auditori verbal kepada orang tua yang mempunyai bayi tunarungu (Goldberg, 1997).
Prinsip-prinsip praktek auditori verbal itu adalah sebagai berikut:
§       Berusaha sedini mungkin mengidentifikasi ketunarunguan pada anak, idealnya di klinik perawatan bayi.
§       Memberikan perlakuan medis terbaik dan teknologi amplifikasi bunyi kepada anak tunarungu sedini mungkin.
§       Membantu anak memahami makna setiap bunyi yang didengarnya, dan mengajari orang tuanya cara membuat agar setiap bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang hari.
§       Membantu anak belajar merespon dan menggunakan bunyi sebagaimana yang dilakukan oleh anak yang berpendengaran normal.
§       Menggunakan orang tua anak sebagai model utama untuk belajar ujaran dan komunikasi lisan.
§       Berusaha membantu anak mengembangkan sistem auditori dalam (inner auditory system) sehingga dia menyadari suaranya sendiri dan akan berusaha mencocokkan apa yang diucapkannnya dengan apa yang didengarnya.
§       Memahami bagaimana anak yang berpendengaran normal mengembangkan kesadaran bunyi, pendengaran, bahasa, dan pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk membantu anak tunarungu mempelajari keterampilan baru.
§       Mengamati dan mengevaluasi perkembangan anak dalam semua bidang.
§       Mengubah program latihan bagi anak bila muncul kebutuhan baru.
§       Membantu anak tunarungu berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan maupun sosial bersama-sama dengan anak-anak yang berpendengaran normal dengan memberikan dukungan kepadanya di kelas reguler.
Hasil penelitian terhadap sejumlah tamatan program auditori verbal di Amerika Serikat dan Kanada (Goldberg & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997) menunjukkan bahwa mayoritas responden terintegrasi ke dalam lingkungan belajar dan lingkungan hidup “reguler”. Kebanyakan dari mereka bersekolah di sekolah biasa di dalam lingkungannya, masuk ke lembaga pendidikan pasca sekolah menengah yang tidak dirancang khusus bagi tunarungu, dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Di samping itu, keterampilan membacanya setara atau lebih baik daripada anak-anak berpendengaran normal (Robertson & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997).
Pendekatan Auditori Oral
Pendekatan auditori oral didasarkan atas premis mendasar bahwa memperoleh kompetensi dalam bahasa lisan, baik secara reseptif maupun ekspresif, merupakan tujuan yang realistis bagi anak tunarungu. Kemampuan ini akan berkembang dengan sebaik-baiknya dalam lingkungan di mana bahasa lisan dipergunakan secara eksklusif. Lingkungan tersebut mencakup lingkungan rumah dan sekolah (Stone, 1997).
Elemen-elemen pendekatan auditori oral yang sangat penting untuk menjamin keberhasilannya mencakup:
§       Keterlibatan orang tua. Untuk memperoleh bahasa dan ujaran yang efektif menuntut peran aktif orang tua dalam pendidikan bagi anaknya.
§       Upaya intervensi dini yang berfokus pada pendidikan bagi orang tua untuk menjadi partner komunikasi yang efektif.
§       Upaya-upaya di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan kelas.
§       Amplifikasi yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak efektif, penggunaan cochlear implant merupakan opsi yang memungkinkan.
Mengajari anak mengunakan sisa pendengaran yang masih dimilikinya untuk mengembangkan perolehan bahasa lisan merupakan hal yang mendasar bagi pendekatan auditori oral. Meskipun dimulai sebelum anak masuk sekolah, intervensi oral berlanjut di kelas. Anak diajari keterampilan mendengarkan yang terdiri dari empat tingkatan, yaitu deteksi, diskriminasi, identifikasi, dan pemahaman bunyi. Karena tujuan pengembangan keterampilan mendengarkan itu adalah untuk mengembangkan kompetensi bahasa lisan, maka bunyi ujaran (speech sounds) merupakan stimulus utama yang dipergunakan dalam kegiatan latihan mendengarkan itu. Pengajaran dilakukan dalam dua tahapan yang saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik (mengembangkan keterampilan menangkap suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan tahapan fonologik (mengembangkan keterampilan memahami kata-kata, frase, dan kalimat). Pengajaran bahasa dilaksanakan secara naturalistik dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada diri anak, tidak dalam setting didaktik. Pada masa prasekolah, pengajaran bagi anak dan pengasuhnya dilakukan secara individual, tetapi pada masa sekolah pengajaran dilaksanakan dalam setting kelas inklusif atau dalam kelas khusus bagi tunarungu di sekolah reguler. Setting pengajaran ini tergantung pada keterampilan sosial, komunikasi dan belajar anak.
Keuntungan utama pendekatan auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu berkomunikasi secara langsung dengan berbagai macam individu, yang pada gilirannya dapat memberi anak berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Geers dan Moog (1989 dalam Stone, 1997) melaporkan bahwa 88% dari 100 siswa tunarungu usia 16 dan 17 tahun yang ditelitinya memiliki kecakapan berbahasa lisan dan memiliki tingkat keterpahaman ujaran yang tinggi. Kemampuan rata-rata membacanya adalah pada tingkatan usia 13 hingga 14 tahun, yang hampir dua kali lipat rata-rata kemampuan baca seluruh populasi anak tunarungu di Amerika Serikat.





DAFTAR PUSTAKA

http://dtarsidi.blogspot.com/2007/08/studikasustunarungu.html, oleh Kurnaeni


httpwww.google.co.idimgresq=alat+bantu+dengar&hl=id&tbo=d&biw=1515&bih=785&tbm=isch&tbnid=dA_CN9edWRU5sM&imgrefurl=httpvirtual-kafevirtual.blogspot.com201008alat-bantu-dengar.html&docid=2EClktf-hpAtvM&imgurl=http3.bp.blogspot.com_

httpwww.google.co.idimgresq=cochlear+implant&num=10&hl=id&tbo=d&biw=1515&bih=785&tbm=isch&tbnid=DOTsbAyioZ5MtM&imgrefurl=httpwww.gizmodo.com.au200911cochlear-implants-psychic-powers-and-why-some-people-reject-the-bionic-li

httpwww.google.co.idimgresq=cochlear+implant&num=10&hl=id&tbo=d&biw=1515&bih=785&tbm=isch&tbnid=P198awrYWUkRpM&imgrefurl=httpkidshealth.orgparentgeneraleyescochlear.html&docid=9Mdg2sNMjQfbVM&imgurl=httpkidshealth.orgparentgenerale

httpwww.google.co.idimgresq=cochlear+implant&num=10&hl=id&tbo=d&biw=1515&bih=785&tbm=isch&tbnid=DOTsbAyioZ5MtM&imgrefurl=httpwww.gizmodo.com.au200911cochlear-implants-psychic-powers-and-why-some-people-reject-the-bionic-life&docid

Salim, Abdul. 1995. Rehabilitasi Anak Luar Biasa, Jakarta: Depdikbud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar