GARIS BESAR ISI ARTIKEL
Metode Pengajaran Bahasa
Bagi Anak Tunarungu
KLASIFIKASI DAN JENIS KETUNARUNGUAN
SERTA METODE PENGAJARAN BAHASA
BAGI ANAK TUNARUNGU
ditulis
oleh Administrator Dinas Pendidikan Luar Biasa Provinsi Jawa Barat
Ada
tiga jenis utama ketunarunguan menurut lokasi ganguannya (Easterbrooks;1997):
1.
Conductive loss.
2.
Sensorineural loss.
3.
Central auditory processing disorder.
Berdasarkan
tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi, ketunarunguan dibedakan
menjadi (Ashman dan Elkins;1994) :
1.
Ketunarunguan ringan (mild hearing
impairment)
2.
Ketunarunguan sedang (moderate hearing
impairment)
3.
Ketunarunguan berat (severe hearing
impairment)
4.
Ketunarunguan berat sekali (profound
hearing impairment)
Metode dan Pendekatan Pengajaran
Bahasa bagi Anak Tunarungu
Pilihan sistem komunikasi harus ditetapkan atas dasar individual, dengan mempertimbangkan karakteristik anak, sumber-sumber yang tersedia, dan komitmen keluarga anak terhadap metode komunikasi tertentu.
Pilihan sistem komunikasi harus ditetapkan atas dasar individual, dengan mempertimbangkan karakteristik anak, sumber-sumber yang tersedia, dan komitmen keluarga anak terhadap metode komunikasi tertentu.
Metode Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
1) Belajar Bahasa
Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Orang
dapat memahami pembicaraan orang lain dengan “membaca” ujarannya melalui
gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat
terlihat pada bibir (Berger, 1972). Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang
ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca
ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur
bahasa. Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan
sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan
untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Delapan
bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok konsonan diletakkan pada
empat posisi di sekitar wajah yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal.
Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat berbicara, isyarat-isyarat ini
membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak (Caldwell, 1997). Tujuan dari
pengembangan komunikasi isyarat ini adalah untuk meningkatkan perkembangan
bahasa anak tunarungu dan memberi mereka fondasi untuk keterampilan membaca dan
menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Keuntungan dari sistem isyarat ini
adalah mudah dipelajari, dapat dipergunakan untuk mengisyaratkan segala macam
kata maupun bunyi-bunyi non-bahasa.
2) Belajar Bahasa
Melalui Pendengaran
Ashman
& Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua tingkat
ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat
bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural
dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant
adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu
komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna,
dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan
ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam). Prostesis
cochlear implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan
langsung memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton,
1997).
Akan
tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang
dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan
berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur
sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi tidak berarti penyandang
ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang
diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Individu tunarungu jarang dapat mendengarkan
bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Mengakibatkan individu tunarungu tidak
dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang
dipergunakannya.
3) Belajar Bahasa
secara Manual
Secara
alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau
bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah mengembangkan
bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994)
mengemukakan bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan
gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu
mempelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa
para penggunanya cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.
Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Pendekatan Auditori verbal
Pendekatan
auditori-verbal bertujuan agar anak tunarungu tumbuh dalam lingkungan hidup dan
belajar yang memungkinkanya menjadi warga yang mandiri, partisipatif dan
kontributif dalam masyarakat inklusif. Pendekatan auditori verbal didasarkan
atas prinsip mendasar bahwa penggunaan amplifikasi memungkinkan anak belajar
mendengarkan, memproses bahasa verbal, dan berbicara. Opsi auditori verbal
merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-prinsip yang harus dijalankan
dalam pengajaran di kelas. Tujuannya adalah untuk mengajarkan prinsip-prinsip
auditori verbal kepada orang tua yang mempunyai bayi tunarungu (Goldberg,
1997).
Prinsip-prinsip
praktek auditori verbal itu adalah sebagai berikut:
§ Berusaha
sedini mungkin mengidentifikasi ketunarunguan pada anak.
§ Memberikan
perlakuan medis terbaik dan teknologi amplifikasi bunyi kepada anak tunarungu
sedini mungkin.
§ Membantu
anak memahami makna setiap bunyi yang didengarnya, dan mengajari orang tuanya
cara membuat agar setiap bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang hari.
§ Membantu
anak belajar merespon dan menggunakan bunyi sebagaimana yang dilakukan oleh
anak yang berpendengaran normal.
§ Menggunakan
orang tua anak sebagai model utama untuk belajar ujaran dan komunikasi lisan.
§ Berusaha
membantu anak mengembangkan sistem auditori dalam (inner auditory system).
§ Memahami
bagaimana anak yang berpendengaran normal mengembangkan kesadaran bunyi,
pendengaran, bahasa, dan pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk
membantu anak tunarungu mempelajari keterampilan baru.
§ Mengamati
dan mengevaluasi perkembangan anak dalam semua bidang.
§ Mengubah
program latihan bagi anak bila muncul kebutuhan baru.
§ Membantu
anak tunarungu berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan maupun sosial bersama-sama
dengan anak-anak yang berpendengaran normal dengan memberikan dukungan
kepadanya di kelas reguler.
Keterampilan
membacanya setara atau lebih baik daripada anak-anak berpendengaran normal
(Robertson & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997).
Pendekatan Auditori Oral
Pendekatan
auditori oral didasarkan atas premis mendasar bahwa memperoleh kompetensi dalam
bahasa lisan, baik secara reseptif maupun ekspresif, merupakan tujuan yang
realistis bagi anak tunarungu.
Elemen-elemen
pendekatan auditori oral yang sangat penting untuk menjamin keberhasilannya
mencakup:
§ Keterlibatan
orang tua.
§ Upaya
intervensi dini yang berfokus pada pendidikan bagi orang tua untuk menjadi
partner komunikasi yang efektif.
§ Upaya-upaya
di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan
kelas.
§ Amplifikasi
yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak
efektif, penggunaan cochlear implant merupakan
opsi yang memungkinkan.
Mengajari
anak mengunakan sisa pendengaran yang masih dimilikinya untuk mengembangkan
perolehan bahasa lisan merupakan hal yang mendasar bagi pendekatan auditori
oral. Anak diajari keterampilan mendengarkan yang terdiri dari empat tingkatan,
yaitu deteksi, diskriminasi, identifikasi, dan pemahaman bunyi. Karena tujuan
pengembangan keterampilan mendengarkan itu adalah untuk mengembangkan
kompetensi bahasa lisan, maka bunyi ujaran (speech sounds) merupakan stimulus
utama yang dipergunakan dalam kegiatan latihan mendengarkan itu. Pengajaran
dilakukan dalam dua tahapan yang saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik
(mengembangkan keterampilan menangkap suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan
tahapan fonologik (mengembangkan keterampilan memahami kata-kata, frase, dan
kalimat).
Keuntungan
utama pendekatan auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu berkomunikasi secara
langsung dengan berbagai macam individu, yang pada gilirannya dapat memberi
anak berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial.
TELAAH KRITIS ARTIKEL
Belajar
Membaca melalui membaca ujaran. Dikatakan di artikel
bahwa hal ini akan menyulitkan penyandang tunarungu yang masih dalam masa
prabahasa. Tapi akan menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang dengan
pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa.
Sangatlah benar apa yang dikatakan pada artikel. Terutama hal tersebut
terjadi di Indonesia yang masih belum terlalu memperhatikan kondisi para
penyandang atau mereka yang berkebutuhan khusus. Untuk mempermudah tunarungu
dalam membaca ujaran dapat menggunakan cued speech, yaitu isyarat gerakan
tangan untuk melengkapai membaca ujaran. Dimana terdapat 8 gerakan tangan
seperti ada pada gambar berikut ini.
Ini berbeda dengan bahasa isyarat yang malah membuat
tunarungu menjadi kelompok yang eksekutif dalam masyarakat. Dengan metode ini
dapat mempermudah dari kedua belah pihak, antara yang orang yang bisa
mendengar dengan tunarungu. Selain itu,
tidak serumit bahasa isyarat yang menuntut orang normal untuk lebih bertindak
aktif dalam mempelajari bahasa mereka. Disini terjadi saling interaksi dan
toleransi yang lebih baik antara orang yang bisa mendengar dengan tunarungu
karena keduanya saling ambil peran aktif dalam mempelajari bahasa. Orang yang
bisa mendengar mempelajari cued spech untuk mempermudah menerangkan sesuatu
atau berkomunikasi dengan tunarungu dansi tunarungu juga secara sengaja belajar
tentang struktur bahasa verbal orang yang bisa mendengar. Ini merupakan jalan
tengah bagi Indonesia yang jika sampai sekarang belum dapat menerima tentang
kehadiran bahsa isyarat sebagai bahasa komunikasi para tunarungu.
Diterangkan pula pada artikel bahwa penggunakan
metode membaca ujaran dapat melatih keterampilan tunarungu dalam menulis dan
membaca. Hal tersebut juga dapat membuka peluang yang baik bagi perkembangan
tunarungu, terutama tunarungu di Indonesia. Dapat membantu tunarungu dalam
berkembang di dalam masyarakat sebagai makhluk sosial yang sewajarnya orang
lain yang bisa mendengar. Yang paling baik dalam bidang pendidikan dan
pekerjaan yang bisa menopang hidupnya menjadi lebih baik.
Yang kedua adalah dengan metode Belajar Bahasa Melalui Pendengaran. Dikatakan bahwa penggunakan
alat bantu dengar sangatlah membantu dan berpengaruh dalam proses ini. Tapi
bagi masyarakat Indonesia yang memiliki tingkat perekonomian menengah kebawah
bahwa tidak dipungkiri hanya beberapa tunarungu sajalah yang dapat menggunakan
alat bantu dengar tersebut. Dikarenakan harganya yang mencapai puluhan juta.
Itu merupakan salah satu faktor perbedaan proses perkembangan dan pertmbuhan
yang dialami oleh tunarungu yang satu dengan tunarungu yang lain.
Selain menggunakan alat bantu dengar, ada cara lain
dengan menggunakan atau melakukan pembedahan atau pemasangan choclear impant.
Cara ini dilakukan dengan menggunakan operasi yang memakan biaya yang lebih
mahal dibanding dengan alat bantu dengar. Lebih sulit lagi jika tunarungu yang
berada di Indonesia yang memiliki ekonomi menengah ke bawah melakukan cara ini.
Kecuali ada seorang dermawan yang mau untuk membiayai operasi tersebut. Akan
tetapi penggunaan cochlear implant sangatlah efektif untuk menunjang metode
belajar bahasa melalui pendengaran ini, terutama mereka yang memiliki jenis
ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat sekali.
Ada kelebihan, ada pula kekurangannya. Penggunaan cochlear
implant memang lebih efektif dibandingkan dengan menggunakan alat bantu dengar
dalam penyerapan suara dan bahasa. Namun pemasangan cochlear implant memiliki
resiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan alat bantu dengar.
Penggunaan cochlear implant tidak memperbolehkan si pengguna melakukan banyak
aktivitas fisik yang dapat memicu resiko terjadinya kerusakan alat cochlear
implant tersebut yang kemudian dapat berdampak lebih buruk pada sistem
pendengaran si tunarungu yang menggunakannya. Karena cochlear implant juga
berhubungan dengan telinga bagian tengah dan dalam, lebih tepatnya di rumah
siput. Penggunaan cochlear implant dapat di lihat pada gabar berikut ini.
Bisa dilihat pada gambar bahwa kabel terhubung
dengan rumah siput pada telinga. Ini yang menyebabkan si pengguna tidak
diperbolehkan melakukan berbagai aktivitas.
Berbeda dengan cochlear implant, alat bantu dengar
hanya ditempelkan atau di pasang pada bagian luar telinga dan tidak ada kabel
atau alat yang betul-betul menghubungkan ke bagian telinga yang penting. Alat
bantu dengar hanya dapat menangkap suara yang kemudian akan disalurkan lewat
gendang telinga saja, tidak sampai ke telinga bagian dalam, seperti rumah
siput. Sehingga si pengguna dapat lebih bebas bergerak dan melakukan aktivitas
pengembangan. Secara psikologis, alat bantu dengar lebih efektif dari pada
cochlear implant karena si tunarungu dapat melakukan aktivitas pengembangaan
diri secara mandiri dan dapat lebih bisa berkembang lebih optimal.
Ketidakefektifan muncul lagi pada cochlear implant
dikarenakan cochlear implant akan percuma terpasang jika syaraf tunarungu yang
menghubungkan otak dengan telinga terputus. Demikian dikarenakan cochlear
implant hanya terhubung dengan rumah siput pada telinga.
Metode berikutnya adalah dengan menggunakan Belajar Bahasa Secara Manual. Cara
manual ini berkebang dengan menggunakan bahasa isyarat. Dengan bahasa isyarat,
tunarungu lebih paham, jelas dan mengetahui gambaran sesuatu yang diisyaratkan
padanya. Cara ini adalah cara yang paling fektif bagi tunarungu, tapi belum
tantu kita, yang bisa mendengar
khususnya yang berada dan berdomisili di Indonesia yang masih belum terlalu
memperhatikan perkembangan bahasa mereka, paham. Disisi lain
pemerintah-pemerintah luar negeri sudah
mulai semakin lebih memperhatikan perkembangan ketunarunguan dan sudah banyak
orang yang bisa mendengar dapat menggunakan bahasa isyarat. Namun entah mengapa
di Indonesia belum diadakan pelaksanaan seperti itu. Akan tetapi, akhir-akhir
ini sudah ada organisasi yang mulai bergerak dalam mensosialisasikan bahasa
isyarat tersebut di beberapa kota di Indonesia, terutama di kota Solo. Dan
telah beberapa masyarakat mulai tergerak untuk belajar berisyarat. Tapi
pemerintah belum sampai tersentil oleh pergerakan itu.
Itulah metode-metode yang diajarkan pada anak
tunarungu dalam meningkatkan perkembangannya dalam bahasa. Kemudian untuk
menunjang pelaksanaan metode pembelajaran bahasa tersebut diperlukan
pendekatan- terhadap anak tunarungu sehingga dalam perkembangan bahasanya
menjadi lebih optimal. Pendekatan ini perlu dilakukan sedini mungkin pada anak.
Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan audio verbal dana audio oral. Dalam
artikel dikatakan bahwa orangtua memiliki peran utama dalam pendekatan ini
karena orang terdekat dengan anak tunarungu adalah para orangtuanya. Keduanya
memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut, pedekatan audio
oral bertujuan agar anak tunarungu dapat memperoleh bahasa dengan belajar
membaca ujaran secara bahasa lisan, baik secara reseptif maupun ekspresif.
Sedangkan pendekatan audio verbal lebih tepusat pada pemahaman anak tunarungu
dalam mengerti, memahami, dan memaknai bahasa yang digunakan bahasa orang yang
bisa mendengar yaitu bahasa verbal. Keduanya saling terikat dan saling
mempengaruhi dalam peningkatan berbahasa pada anak tunarungu.
Selain berpengaruh pada perkembangan bahasa, kedua
pendekatan ini berpengaruh pada peningkatan taraf kehidupan anak tunarungu
kelak dalam berkompetisi dengan anak-anak yang dapat mendengar.
Selain menggunakan metode dan pendekatan yang
dijelaskan pada artikel, ada terdapat metode-metode lain dalam meningkatkan
kemampuan berbahasa pada anak tunarungu. Seperti yang telah dilaksanakan di
Indonesia yaitu dengan Speech therapy. Speech therapy adalah letihan
membetulkan bicara secara tepat yang diberikan kepada anak/peserta didik yang
mengalami berbagai hambatan bicara, sehingga anak/[eserta didim diharapkan dapat
berbicara dengan benar dan lancar.sebelum speech therapy, biasanya didahului
dengan mencari macam kelainan, sebab kelainan bicara dan bahasa anak melalui
berbagai tes, interview, dan observasi.
Pelaksanaan yang benar menjadi kewenangan seorang
speech terapist. Namun, mengingat keterbatasan tenaga speech terapist, maka
keterliatan uru PLB untuk memperbaiki bicara dan bahasa anak berkelainan yang
membutuhkan adalh sangat penting. Disini peran guru PLB adalah sebagai berikut :
a. Mencari
atau meneliti kelainan bicara atau bahasa.
Bila belum ada alat tes yang baku
maka dapat ditempuh dengan tes berbisik. Selain itu juga mengamati kaeadaan
organ bicara ,laterisasi, kesan tentang inteligensi, tingkah laku anak, dan
sebagainya.
b. Membuat
diagnosis kelainan bicara bersama-sama tim rehabilitasi yang ada di sekolah.
c. Menyusun
program rehabilitasi.
d. Berdasarkan
program yang telah disusun, guru dapat melaksanakan sebagian trapi bicara atau
bahasa. Diantaranya dengan :
·
Memberikan latihan pernapasan anak
·
Memberikan latihan artikulasi
·
Memberikan latihan bahasa
·
Latihan phonasi, guna menghasilkan suara
yang baik.
·
Melatih bicara anak, yang meliputi :
o
Mengucapkan bunyi bahasa tertentu
o
Mengucapkan bunyi bahasa tertentu
tersebut dalam kata
o
Stabilisasi dalam kata
o
Pemakaian kata dalam kalimat
o
Mengucapkan kalimat secara menolong
o
Penggunaan bunyi bahasa yang sering
dipakai dalam dialog guru dan murid di kelas
o
Mengguakan bunyi bahasa dalam
pembicaraan sehari-hari
·
Pelaksanaan terapi bicara
·
Konsultasi secara periodik dengan ahli
terapi bicara
·
Memperlengkapi sarana terapi bicara atau
bahasa di sekolahnya
·
Mengadakan pencatatan perkembangan anak/
peserta didik.
Selain terapis dan guru, peran orangtua juga sangat
berpengaruh dalam perkembangan bahsa anak tunarungu.
KESIMPULAN
Dari Talaah Kritis yang
sudah dibuat maka saya dapat menyimpulkan :
Metode Pengajaran
Bahasa Bagi Anak Tunarungu terdapat banyak. belajar bahasa melalui membaca
ujaran, belajar bahasa melalui pendengaran, belajar bahasa secara manual
merupakan beberapa metode yang telah digunakan. Belajar membaca melalui membaca
ujaran ini memerlukan cued speech untuk mempermdah anak tunarungu dalam
memahami kata. Belajar bahasa mealui pendengaran bisa dilakukan dengan
menggunakan alat bantuan, seperti alat bantu dengar atau menggunakan pemasangan
cochlear implant. Dan belajar behasa secara manual dengan menggunakan bahasa
manual tunarungu, yaitu bahasa isyarat. Selain itu, speech therapy juga
merupakan salah satu metode yang mengajarkan anak tunarungu dalam berbahasa.
Dan itu sudah terlaksana di Indonesia.
Untuk menunjang
keberhasilan anak tunarungu dalam meningkatkan kemampuan berbahasa,
diperlukakan suatu pendekatan tertentu yang dilakuakan oleh beberapa pihak.
Pendekatan dilakuakan diantaranya oleh terapis, pendidik atau guru, dan
orangtua dari anak tunarungu tersebut. Namun yang membawa peran paling penting
di dalam proses pendekatan tersebut adalah orangtua. Dikarenakan orangtua
memiliki lebih banyak waktu bersama dengan anak tunarungunya di bandingkan
dengan pihak yang lain dan memiliki hubungan yang lebih dekat. Maka orangtua
perlu diberikan pengarahan dan pembinaan pula dalam mendidik anak tunarungunya.
Pemberian pembinaan dan engarahan tersebut dapat dilakukan oleh terapis yang
bersangkutan atau pendidik atau guru dari anak tersebut.
LAMPIRAN
Metode Pengajaran
Bahasa Bagi Anak Tunarungu
KLASIFIKASI DAN JENIS KETUNARUNGUAN
SERTA METODE PENGAJARAN BAHASA
BAGI ANAK TUNARUNGU
ditulis
oleh Administrator Dinas Pendidikan Luar Biasa Provinsi Jawa Barat
Easterbrooks
(1997) mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis utama ketunarunguan menurut
lokasi ganguannya:
4.
Conductive loss, yaitu ketunarunguan
yang terjadi bila terdapat gangguan pada bagian luar atau tengah telinga yang
menghambat dihantarkannya gelombang bunyi ke bagian dalam telinga.
5.
Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan
yang terjadi bila terdapat kerusakan pada bagian dalam telinga atau syaraf
auditer yang mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke otak.
6.
Central auditory processing disorder,
yaitu gangguan pada sistem syaraf pusat proses auditer yang mengakibatkan individu
mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan
yang spesifik pada telinganya itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat
pemerosesan auditer ini mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur
dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang
didengarnya.
Berdasarkan
tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi, Ashman dan Elkins (1994)
mengklasifikasikan ketunarunguan ke dalam empat kategori, yaitu:
5.
Ketunarunguan ringan (mild hearing
impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan
intensitas 20-40 dB (desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang
diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.
6.
Ketunarunguan sedang (moderate hearing
impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan
intensitas 40-65 dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa
memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana
gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).
7.
Ketunarunguan berat (severe hearing
impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan
intensitas 65-95 dB. Mereka sedikit memahami percakapan pembicara bila
memperhatikan wajah pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal
praktis tidak mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu
dengar.
8.
Ketunarunguan berat sekali (profound
hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi
dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Mendengar percakapan normal tidak
mungkin baginya, sehingga dia sangat tergantung pada komunikasi visual. Sejauh
tertentu, ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu dengan
kekuatan yang sangat tinggi (superpower).
Survey
tahun 1981 di Australia menemukan bahwa 59% dari populasi tunarungu menyandang
ketunarunguan ringan, 11% sedang, 20% berat, dan 10% tidak dapat dipastikan
(Cameron, 1982, dalam Ashman dan Elkins, 1994).
Perlu
dijelaskan bahwa decibel (disingkat dB) adalah satuan ukuran intensitas bunyi.
Istilah ini diambil dari nama pencipta telepon, Graham Bel, yang istrinya
tunarungu, dan dia tertarik pada bidang ketunarunguan dan pendidikan bagi
tunarungu. Satu decibel adalah 0,1 Bel.
Bagi
para fisikawan, decibel merupakan ukuran tekanan bunyi, yaitu tekanan yang
didesakkan oleh suatu gelombang bunyi yang melintasi udara. Dalam fisika, 0 db
sama dengan tingkat tekanan yang mengakibatkan gerakan molekul udara dalam
keadaan udara diam, yang hanya dapat terdeteksi dengan menggunakan instrumen
fisika, dan tidak akan terdengar oleh telinga manusia. Oleh karena itu, di
dalam audiologi ditetapkan tingkat 0 yang berbeda, yang disebut 0 dB klinis
atau 0 audiometrik. Nol inilah yang tertera dalam audiogram, yang merupakan
grafik tingkat ketunarunguan. Nol audiometrik adalah tingkat intensitas bunyi
terendah yang dapat terdeteksi oleh telinga orang rata-rata dengan telinga yang
sehat pada frekuensi 1000 Hz (Ashman & Elkins, 1994).
Metode
dan Pendekatan Pengajaran Bahasa bagi Anak Tunarungu
Perdebatan tentang cara terbaik untuk mengajar anak tunarungu berkomunikasi telah marak sejak awal abad ke-16 (Winefield, 1987). Perdebatan ini masih berlangsung, tetapi kini semakin banyak ahli yang berpendapat bahwa tidak ada satu sistem komunikasi yang baik untuk semua anak (Easterbrooks, 1997). Pilihan sistem komunikasi harus ditetapkan atas dasar individual, dengan mempertimbangkan karakteristik anak, sumber-sumber yang tersedia, dan komitmen keluarga anak terhadap metode komunikasi tertentu.
Perdebatan tentang cara terbaik untuk mengajar anak tunarungu berkomunikasi telah marak sejak awal abad ke-16 (Winefield, 1987). Perdebatan ini masih berlangsung, tetapi kini semakin banyak ahli yang berpendapat bahwa tidak ada satu sistem komunikasi yang baik untuk semua anak (Easterbrooks, 1997). Pilihan sistem komunikasi harus ditetapkan atas dasar individual, dengan mempertimbangkan karakteristik anak, sumber-sumber yang tersedia, dan komitmen keluarga anak terhadap metode komunikasi tertentu.
Metode Pengajaran Bahasa bagi
Anak Tunarungu
Terdapat tiga metode utama individu
tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, melalui pendengaran, dan
dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga cara tersebut.
1) Belajar Bahasa
Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Orang
dapat memahami pembicaraan orang lain dengan “membaca” ujarannya melalui
gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat
terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di
belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak
kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga
pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat
menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa.
Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan
yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat
mengenai bunyi-bunyi yang “tersembunyi” itu. Jadi, orang tunarungu yang
bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada
tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa
latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa
harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).
Delapan
bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok konsonan diletakkan pada
empat posisi di sekitar wajah yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal.
Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat berbicara, isyarat-isyarat ini
membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak (Caldwell, 1997). Cued Speech
dikembangkan oleh R. Orin Cornett, Ph.D. di Gallaudet University pada tahun
1965 66. Isyarat ini dikembangkan sebagai respon terhadap laporan penelitian
pemerintah federal AS yang tidak puas dengan tingkat melek huruf di kalangan
tunarungu lulusan sekolah menengah. Tujuan dari pengembangan komunikasi isyarat
ini adalah untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak tunarungu dan memberi
mereka fondasi untuk keterampilan membaca dan menulis dengan bahasa yang baik
dan benar. Cued Speech telah diadaptasikan ke sekitar 60 bahasa dan dialek.
Keuntungan dari sistem isyarat ini adalah mudah dipelajari (hanya dalam waktu
18 jam), dapat dipergunakan untuk mengisyaratkan segala macam kata (termasuk
kata-kata prokem) maupun bunyi-bunyi non-bahasa. Anak tunarungu yang tumbuh
dengan menggunakan cued speech ini mampu membaca dan menulis setara dengan
teman-teman sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam Caldwell, 1997).
2) Belajar Bahasa
Melalui Pendengaran
Ashman
& Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua tingkat
ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat
bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural
dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant
adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu
komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna,
dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan
ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen
eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear
implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung
memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997).
Akan
tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang
dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan
berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur
sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa
penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari
bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar
dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi
ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu
tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar
yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak
berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok.
3) Belajar Bahasa
secara Manual
Secara
alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau
bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah mengembangkan
bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994)
mengemukakan bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan
gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu
mempelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa
para penggunanya cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.
Pendekatan dalam Pengajaran
Bahasa bagi Anak Tunarungu
Pengajaran
bahasa secara terprogram bagi anak tunarungu harus dimulai sedini mungkin bila
kita mengharapkan tingkat keberhasilan yang optimal. Terdapat dua pendekatan
dalam pengajaran bahasa kepada anak tunarungu secara dini, yaitu pendekatan
auditori-verbal dan auditori-oral.
Pendekatan Auditori verbal
Pendekatan
auditori-verbal bertujuan agar anak tunarungu tumbuh dalam lingkungan hidup dan
belajar yang memungkinkanya menjadi warga yang mandiri, partisipatif dan
kontributif dalam masyarakat inklusif. Falsafah auditori-verbal mendukung hak
azazi manusia yang mendasar bahwa anak penyandang semua tingkat ketunarunguan
berhak atas kesempatan untuk mengembangkan kemampuan untuk mendengarkan dan
menggunakan komunikasi verbal di dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya.
Pendekatan auditori verbal didasarkan atas prinsip mendasar bahwa penggunaan
amplifikasi memungkinkan anak belajar mendengarkan, memproses bahasa verbal,
dan berbicara. Opsi auditori verbal merupakan strategi intervensi dini, bukan
prinsip-prinsip yang harus dijalankan dalam pengajaran di kelas. Tujuannya
adalah untuk mengajarkan prinsip-prinsip auditori verbal kepada orang tua yang
mempunyai bayi tunarungu (Goldberg, 1997).
Prinsip-prinsip
praktek auditori verbal itu adalah sebagai berikut:
§ Berusaha
sedini mungkin mengidentifikasi ketunarunguan pada anak, idealnya di klinik
perawatan bayi.
§ Memberikan
perlakuan medis terbaik dan teknologi amplifikasi bunyi kepada anak tunarungu
sedini mungkin.
§ Membantu
anak memahami makna setiap bunyi yang didengarnya, dan mengajari orang tuanya
cara membuat agar setiap bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang hari.
§ Membantu
anak belajar merespon dan menggunakan bunyi sebagaimana yang dilakukan oleh
anak yang berpendengaran normal.
§ Menggunakan
orang tua anak sebagai model utama untuk belajar ujaran dan komunikasi lisan.
§ Berusaha
membantu anak mengembangkan sistem auditori dalam (inner auditory system)
sehingga dia menyadari suaranya sendiri dan akan berusaha mencocokkan apa yang
diucapkannnya dengan apa yang didengarnya.
§ Memahami
bagaimana anak yang berpendengaran normal mengembangkan kesadaran bunyi,
pendengaran, bahasa, dan pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk
membantu anak tunarungu mempelajari keterampilan baru.
§ Mengamati
dan mengevaluasi perkembangan anak dalam semua bidang.
§ Mengubah
program latihan bagi anak bila muncul kebutuhan baru.
§ Membantu
anak tunarungu berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan maupun sosial
bersama-sama dengan anak-anak yang berpendengaran normal dengan memberikan
dukungan kepadanya di kelas reguler.
Hasil
penelitian terhadap sejumlah tamatan program auditori verbal di Amerika Serikat
dan Kanada (Goldberg & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997) menunjukkan
bahwa mayoritas responden terintegrasi ke dalam lingkungan belajar dan
lingkungan hidup “reguler”. Kebanyakan dari mereka bersekolah di sekolah biasa
di dalam lingkungannya, masuk ke lembaga pendidikan pasca sekolah menengah yang
tidak dirancang khusus bagi tunarungu, dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan
masyarakat. Di samping itu, keterampilan membacanya setara atau lebih baik
daripada anak-anak berpendengaran normal (Robertson & Flexer, 1993, dalam
Goldberg, 1997).
Pendekatan Auditori Oral
Pendekatan
auditori oral didasarkan atas premis mendasar bahwa memperoleh kompetensi dalam
bahasa lisan, baik secara reseptif maupun ekspresif, merupakan tujuan yang
realistis bagi anak tunarungu. Kemampuan ini akan berkembang dengan
sebaik-baiknya dalam lingkungan di mana bahasa lisan dipergunakan secara
eksklusif. Lingkungan tersebut mencakup lingkungan rumah dan sekolah (Stone,
1997).
Elemen-elemen
pendekatan auditori oral yang sangat penting untuk menjamin keberhasilannya mencakup:
§ Keterlibatan
orang tua. Untuk memperoleh bahasa dan ujaran yang efektif menuntut peran aktif
orang tua dalam pendidikan bagi anaknya.
§ Upaya
intervensi dini yang berfokus pada pendidikan bagi orang tua untuk menjadi
partner komunikasi yang efektif.
§ Upaya-upaya
di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan
kelas.
§ Amplifikasi
yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak
efektif, penggunaan cochlear implant merupakan
opsi yang memungkinkan.
Mengajari
anak mengunakan sisa pendengaran yang masih dimilikinya untuk mengembangkan
perolehan bahasa lisan merupakan hal yang mendasar bagi pendekatan auditori
oral. Meskipun dimulai sebelum anak masuk sekolah, intervensi oral berlanjut di
kelas. Anak diajari keterampilan mendengarkan yang terdiri dari empat
tingkatan, yaitu deteksi, diskriminasi, identifikasi, dan pemahaman bunyi.
Karena tujuan pengembangan keterampilan mendengarkan itu adalah untuk
mengembangkan kompetensi bahasa lisan, maka bunyi ujaran (speech sounds)
merupakan stimulus utama yang dipergunakan dalam kegiatan latihan mendengarkan
itu. Pengajaran dilakukan dalam dua tahapan yang saling melengkapi, yaitu
tahapan fonetik (mengembangkan keterampilan menangkap suku-suku kata secara
terpisah-pisah) dan tahapan fonologik (mengembangkan keterampilan memahami
kata-kata, frase, dan kalimat). Pengajaran bahasa dilaksanakan secara
naturalistik dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada diri anak, tidak dalam
setting didaktik. Pada masa prasekolah, pengajaran bagi anak dan pengasuhnya
dilakukan secara individual, tetapi pada masa sekolah pengajaran dilaksanakan
dalam setting kelas inklusif atau dalam kelas khusus bagi tunarungu di sekolah
reguler. Setting pengajaran ini tergantung pada keterampilan sosial, komunikasi
dan belajar anak.
Keuntungan
utama pendekatan auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu berkomunikasi secara
langsung dengan berbagai macam individu, yang pada gilirannya dapat memberi
anak berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Geers
dan Moog (1989 dalam Stone, 1997) melaporkan bahwa 88% dari 100 siswa tunarungu
usia 16 dan 17 tahun yang ditelitinya memiliki kecakapan berbahasa lisan dan
memiliki tingkat keterpahaman ujaran yang tinggi. Kemampuan rata-rata
membacanya adalah pada tingkatan usia 13 hingga 14 tahun, yang hampir dua kali
lipat rata-rata kemampuan baca seluruh populasi anak tunarungu di Amerika
Serikat.
DAFTAR
PUSTAKA
httpwww.google.co.idimgresq=alat+bantu+dengar&hl=id&tbo=d&biw=1515&bih=785&tbm=isch&tbnid=dA_CN9edWRU5sM&imgrefurl=httpvirtual-kafevirtual.blogspot.com201008alat-bantu-dengar.html&docid=2EClktf-hpAtvM&imgurl=http3.bp.blogspot.com_
httpwww.google.co.idimgresq=cochlear+implant&num=10&hl=id&tbo=d&biw=1515&bih=785&tbm=isch&tbnid=DOTsbAyioZ5MtM&imgrefurl=httpwww.gizmodo.com.au200911cochlear-implants-psychic-powers-and-why-some-people-reject-the-bionic-li
httpwww.google.co.idimgresq=cochlear+implant&num=10&hl=id&tbo=d&biw=1515&bih=785&tbm=isch&tbnid=P198awrYWUkRpM&imgrefurl=httpkidshealth.orgparentgeneraleyescochlear.html&docid=9Mdg2sNMjQfbVM&imgurl=httpkidshealth.orgparentgenerale
httpwww.google.co.idimgresq=cochlear+implant&num=10&hl=id&tbo=d&biw=1515&bih=785&tbm=isch&tbnid=DOTsbAyioZ5MtM&imgrefurl=httpwww.gizmodo.com.au200911cochlear-implants-psychic-powers-and-why-some-people-reject-the-bionic-life&docid
Salim, Abdul. 1995. Rehabilitasi Anak Luar Biasa, Jakarta: Depdikbud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar