KATA PENGANTAR
Puji
Syukur pada Tuhan Yesus Kristus yang telah berkenan memberikan berkat dan
kesempatan sehingga paper ini dapat terselesaikan dengan baik.
Selama
selang waktu yang diberikan, telah dilaksanakan proses pembuatan, pengelolaan
dan pengembangan analisa sosial secara mandiri dan kelompok. Melalui tugas ini,
telah dibuka kesempatan bagi kami mahasiswa Katolik untuk mendalami lingkungan
sekitar yang berkaitan dengan tema pada tahun ini, yaitu “Ketidakadilan”.
Belajar untuk terjun langsung menemui obyek dan menangani berbagai ketimpangan
sosial yang ditimbulkan oleh ketidakadilan tersebut. Sehingga kita sebagai
mahasiswa mampu untuk membantu, mengetahui dan kiranya menangani
masalah-masalah yang ditemui di lapangan. Membaur dengan masyarakat untuk
mengubah ketidakadilan menjadi sebuah kesetaraan yang dapat memperbaiki
kedamaian dan kesejahteraan obyek yang kita pantau dan dalami dalam tugas ini.
Selain itu, tidak cukup dengan memantau dan mendalami saja, namun sekiranya
hati kita mampu tergugah untuk menangani langsung salah satu ketidakadilan yang
kita ambil dalam tugas analisa sosial ini. Untuk kebaikan kita, orang lain dan
untuk kemuliaan Tuhan.
Paper
ini berisikan mengenai : 1) Pendahuluan, 2) Kerangka Pikir, 3) Pembahasan, 4) Refleksi
Iman, 5) Kesimpulan dan Saran, 6) Daftar Pustaka, dan 7) Lampiran.
Selain
mengucapkan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat yang telah
dilimpahkan sehingga dapat menyelesaikan tugas analisa sosial ini degan baik, penulis
juga mengucapkan terima kasih kepada :
1.
Orangtua tercinta yang telah mencurahkan kasih sayangnya kepada saya sehingga
dapat sampai menjadi seperti sekarang
2.
Rully Anjar A sebagai relawan GERKATIN Solo yang bersedia untuk berbagi ilmu
dan pengalaman dengan kami.
3.
Winda Utami sebagai relawan GERKATIN Solo yang bersedia membagi ceritanya pada
saya.
4.
Muhammad Zulfrida sebagai teman dan saudara saya yang sudah memberikan
tanggapannya tentang apa yang dipermasalahkan disini.
5.
Finda Ayu Permata sebagai kakak tingkat mahasiswa Katolik sekaligus Prodi yang
mau membagi tanggapannya tentang apa yang kita hadapi untuk menyelesaikan tugas
ini.
6.
Nadia Devina sebagai teman yang bersedia memberi tanggapan yang dapat membantu
kita.
7.
Nuri sebagai teman yang bersedia menjawab beberapa pertanyaan yang telah
dilontarkan.
8.
Rizky Agustino Rafael sebagai orang yang saya kasihi sekaligus sebagai seorang
tuli yang bersedia berbagi cerita dan pengalaman yang telah dialami sampai
sekarang.
9.
Romo Eko yang bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi salah satu narasumber
bagi kami.
10.
Rosi Kristian sebagai kakak dan saudara yang mau bercerita dan membagi
pengalamannya dalam persoalan yang kami bahas.
11.
Pedagang Burjo dekat Poltekes Negeri Mojosongo, Solo yang bersedia menjawab
beberapa pertanyaan yang dapat membantu kami.
12.
Anggota komunitas sepeda yang bersedia memberikan komentarnya dan menjadi salah
satu narasumber kami.
13.
Rifa Galindra sebagai relawan GERKATIN yang rela mengobrol dengan saya sebagai
narasumber di sela kesibukannya sekarang.
14.
Adimas Maditra Permana sebagai teman baik yang bersedia memperlihatkan hasil
film dokumenternya yang dapat menjadi salah satu referensi bagi analisa sosial
ini.
15.
Otto Dimas Pangestu, Kunthi Anggun Pratama, Brigitta Intan Rosaria, Agnes Heppy
Kurniasari, Eleonora Patmasta Ekaristi Wijaya, Benidektus Ariyanto sebagai
anggota kelompok analisa sosial yang telah merelakan waktu, tenaga pikiran
untuk berkumpul, dan berusaha menyelesaikan tugas kita dengan baik.
16.
Teman-teman tunarungu yang bersedia menjadi obyek kami dalam analisa sosial
ini.
17.
Dionisia Gita U yang bersedia untuk mendampingi kita menyelesaikan tugas
analisa sosial ini.
18.
Kakak-kakak fasilitstor yang sudah bersedia membimbing kita dari awal sampai
proses sampai sekarang.
19.
Romo Roni N, S.J yang telah menjadi dosen pengampu kami mahasiswa Katolik FKIP UNS
yang telah memberikan materi dengan sungguh-sungguh dan baik pada kami.
20.
Teman-teman KMK yang telah mendukung proses belajar mengajar Agama Katolik ini.
Penulis
juga berterima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per
satu yang berkenan membantu dan memberikan kritik dan saran dalam rangka
penyempurnaan paper ini. Akhirnya penulis berharap dengan adanya paper ini dapat
memberikan motivasi yang positif bagi pembaca mengenai judul yang telah diambil
berhubungan dengan tema “Ketidakadilan”.
Surakarta,
10 Desember 2012
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan dan
Pilihan Konteks
Tuhan
telah menciptakan alam semesta beserta isinya dengan sangat sempurna. Tetapi
Tuhan juga menciptakan perbedaan-perbedaan didalamnya dengan maksud tertentu.
Sadarkah kita sebagai manusia seringkali belum bisa memaknai perbedaan
tersebut. Seperti saudara-saudara kita yang tuli, seorang insani yang
diciptakan Tuhan dengan keunikan tertentu. Mereka sering kali mendapatkan
diskriminasi di dalam kehidupan. Padahal pada dasarnya semua manusia sederajat,
tidak ada yang lebih tinggi maupun yang lebih rendah, juga tidak ada yang lebih
besar dan tak ada yang lebih kecil. Jabatan, prestasi dan pangkat adalah
rekayasa dan penghormatan manusia belaka.
Audisme
itu berhubungan dengan suara dan pendengaran. Masyarakat banyak tergantung pada
suara. Dan hal ini menimbulkan hambatan bagi mereka yang tuli. Jika orangtua
punya anak tuli, dan anak itu tidak bisa berbicara, ada kasus dimana anak-anak
tuli dipukuli karena tidak bisa bicara.
Lingkungan
terkecil manusia adalah keluarga, dimana merupakan tempat bertumbuh dan
mencurahkan segala keluh kesah. Tetapi bahkan dilingkungan yang seharusnya
menjadi tempat paling nyaman tersebut, orang tuli bisa mendapatkan perlakuan
diskriminasi. Orangtua dari anak-anak tuli mungkin bisa menjadi seorang audisme
atau orang yang melakukan diskriminasi terhadap seorang yang tuli jika mereka
melihat anak-anak mereka hanya sebatas berbicara non verbal dengan membuat
mereka membaca bibir, berbicara keras atau hal lain yang tidak benar-benar
diperlukan.
Manusia
diciptakan sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Makhluk
individu sebagai pribadi yang berdiri sendiri, sedangkan makhluk sosial sebagai
makhluk yang tidak bisa hidup sendiri dan perlu adanya bersosialisasi dengan
makhluk yang lain. Selain keluarga yang menjadi salah satu tempat
bersosialisasai, masyarakat juga ambil peran penting dan besar untuk itu. Kita
tidak akan terlepas dari hubungan dengan sekumpulan dari kelompok kecil
tersebut. Begitupun mereka tuli. Tidak ada yang membedakan mereka dengan kita
yang bisa mendengar. Hanya mereka yang belum sadar tentang perbedaan yang
membuat kita menjadi unik saja yang membuat mereka berpikir seperti itu. Untuk
itu melalui apa yang telah kita jalani selama beberapa saat ini, kiranya dapat
membantu memenuhi hak mereka sehingga sama dengan hak kita yang bisa mendengar
dan dapat mengurangi rasa minder mereka terhadap masyarakat dan apa yang mereka
hadapi.
B. Batasan Masalah
Begitu
banyak ketidakadilan yang dirasakan saudara kita yang tuli. Apalagi jika kita
dapat lebih jauh mengenal mereka. Kita yang lebih memiliki keadaan yang lebih
baik atau lebih sempurna kiranya dapat membagi ruang berkomunikasi,
berinteraksi, dan bersosialisasi dengan orang lain secara seimbang, baik dengan
orang yang dapat mendengar maupun orang yang memiliki keterbatasan yang sama
seperti mereka. Dengan sosial budaya yang mereka miliki, dapat menjadi
pengantar kita memahami ketidakadilan yang mereka rasakan. Mengetahui penyebab
yang kecil sekalipun yang manjadikan mereka lebih memiliki rasa minder yang
lebih besar daripada kita yang bisa mendengar.
C. Rumusan Permasalahan
a. Apa
penyebab perasaan minder penyandang tunarungu lebih besar daripada kita yang
bisa mendengar ?
b. Apa
saja faktor-faktor yang mempengaruhi perasaan minder penyandang tunarungu ?
c. Kesulitan-kesulitan
apa saja yang tunarungu hadapi dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan
orang lain ?
d. Apa
yang harus kita lakukan sebagai orang yang bisa mendengar setelah mengetahui
hal tersebut ?
D. Metode Penelitian
Metode
penelitian yang dipakai untuk menyelesaikan paper Analisa Sosial ini adalah
dengan melakukan :
1.
Wawancara informal, dimana kita menayakan beberapa pertanyaan yang sudah
direncanakan terlebih dahulu dan saat melakukan wawancara, kita memberi
pertanyaan kepada narasumber tanpa membawa teks yang berisi pertanyaan yang
sudah terencana tersebut. Wawancara ini dapat dilakukan secara kelompok dan
individu.
2.
Studi Pustaka merupakan hal yang mendukung terbentuknya paper ini. Mahasiswa
melakukan pencarian hal yang terkait tentang paper dengan cara membuka beberapa
situs dan buku mengenai hal yang mendukung paper. Apa yang telah ditemukan pada
situs maupun buku tersebut kemudian diolah menjadi data sekunder yang akan
dimasukkan dalam paper untuk mendukung isi paper. Seperti apa yang sudah
diterangkan oleh para fasilitator.
BAB II
KERANGKA PIKIR
Keadilan
adalah kondisi dimana
segala sesuatu diberikan kepada seseorang sesuai dengan porsi, kebutuhan dan
kemampuannya. Sedangkan ketidakadilan adalah pelanggaran yang dilakukan atau terjadi pada atau terhadap kebenaran orang lain atau apa
yang seharusnya benar.
Tema
analisa sosial kali ini adalh tentang “Ketidakadilan” yang salh satunya di
rasakan oleh beberapa saudara kita yang memiliki warna dan keunikan tersendiri.
Sayangnya, keadilan tersebut sering dilakukan terhadap mereka oleh beberapa
yang ternyata menjadi kerabat atau lingkungan terdekat dari mereka. Mereka
adalah para penyandang tunarungu.
Seorang
yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Ada 2
kategori dari tunarungu, yaitu tuli adalah mereka yang indera pendengarannya
mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi
lagi dan kurang mendengar adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami
kerusakan tapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa
menggunakan alat bantu dengar ( hearing aids ). Itu pendapat dari Andreas
Dwidjosumarto, 1990 : 1.
Sedangkan
pendapat dari Mufti Salim yaitu penyandang tunarungu adalah orang yang
mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh
kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran
sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya.
Tunarungu
disebabkan beberapa faktor, yaitu pada saat sebelum dilahirkan, pada saat
kelahiran, dan pada saat setelah kelahiran. Saat sebelum dilahirkan biasanya
terjadi karena salah satu atau kedua orangtua anak menderita tunarungu atau
memiliki gen sel pembawa sifat abnormal, atau karena suatu penyakit yang
menimpa si ibu saat mengandung si janin, atau karena keracunan obat-obat. Pada
saat kelahiran terjadi ketunarunguan dikarenakan saat melahirkan si ibu
mengalami kesulitan sehingga menggunakan alat bantu persalinan dengan
menggunakan penyedot ( tang ) atau bisa karena prematuritas. Sedangkan pada saat
setelah kelahiran dikarenakan terjadinya infeksi pada organ-organ fital,
pemakaian obat, atau karena kecelakaan.
Keterbatasan
yang dimiliki para penyandang tunarungu sangat mempengaruhi dalam perkembangan
bahasanya karena perkembangan bahasa dan bicara berkaitan erat dengan ketajaman
pendengaran. Kemampuan bahasa dan komunikasi tunarungu terutama yang tergolong
tuli tentu tidak mungkin untuk sampai pada penguasaan bagasa melalui
pendengaranyya, melainkan haruns melalui penglihatannya dan memanfaatkan sisa
pendengarannya. Ada beberapa media yang dapat digunakan penyandang tunarungu,
seperti media tulisan dan membaca sebagai sarana penerimaannya, menggunakan
isyarat sebagai media, dan bagi tunarungu yang mampu bicara tetap menggunakan
bicara sebagai media penyampaiannya dan membaca bibir sebagai media
penerimaannya ( oral ).
Akibat
keterbatasan yang mereka miliki dapat menimbulkan berbagai gangguan, seperti
gangguan perseptual, gangguan bicara, gangguan komunikasi, gangguan kognitif,
gangguan sosial, gangguan emosi, masalah kependidikan, gangguan dalam
intelektual, dan lain-lain.
Gangguan
perseptual dimana tidak dapat mengidentifikasi bunyi dari alam sekitar
benda-benda yang menghasilkan suara.
Gangguan
bicara menyebabkan penyandang tidak dapat mempelajari bagaimana hubungan antara
gerak-gerak mekanisme bicara dengan suara-suara yang dihasilkan sehingga mereka
mereka terkadang tidak memperoleh kontrol terhadap bicaranya.
Gangguan
berkomunikasi membut mereka tidak dapat mengekspresikan apa yang mereka
pikirkan kepada orang lain kecuali melalui gerakan atau isyarat yang konkret.
Mereka kurang dapat mengerti apa yang diucapkan orang lain dan kurang dapat
berpartisipasi dalam percakapan.
Gangguan
kognitif, membatasi mereka memasuki dunianya melalui bantuan pikiran orang
lain, melalui ide, melalui informasi. Terlalu sulit mengerti arti kata
bijaksana karena kata bijaksana terlalu abstrak untuk mereka.
Gangguan
sosial bagi penyandang tunarungu mengalami kesulitan perkembangan dalam
cara-cara bertingkah laku yang tepat terhadap orang lain
Gangguan
emosi mereka dipengaruhi ketidakmampuan mereka mendengarkan apa yang
dibicarakan orang lain dan mereka juga sulit mengekspresikan apa yang ada dalam
pikiran dan perasaannya, akibatnya mereka cenderung egosentris, mudah curiga,
menarik diri atau berbuat yang berlebihan.
Masalah
kpendidikan. Mereka yang tidak dapat berbahasa dengan baik memperoleh manfaat
yang minim dari pengalaman pendidikan.
Gangguan
dalam intelektual, khususnya dalam bentuk bahasa mereka dapat mengalami kesulitan sehingga dalam pengertian intelegensi secara
keseluruhan mengalami hambatan.
Masalah
vokasional, kurangnya keterampilan verbal, pengetahuan umum, kemampuan
akademik, dan keterampilan sosial, anak-anak yang rusak pendengarannya setelah
dewasa akan menghadapi kesempatan yang terbatas dalam mencari pekerjaan.
Selain
masalah yang timbul dari dalam diri penyandang tunarungu tersebut yang pada
akhirnya dapat menghambat diri mereka sendiri, terdapat pula masalah yang
timbul dari luar. Tentang berbagai diskriminasi yang orang lain tunjukkan
terhadap para penyandang tunarungu.
Audisme
adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan diskriminasi yang dilakukan
terhadap kaum tunarungu. Dalam banyak kasus, orang yang bisa mendengar mungkin
belum mengetahui audism dan mungkin tidak menyadari bentuk diskriminasi yang
ada terhadap penyandang tunarungu. Istilah ini pertama kali dikenal di Amerika
pada tahun 1975 yang dikenalkan oleh Tom L. Humphries. Tindakan diskriminasi
ini dilakukan oleh orang yang bisa mendengar terhadap orang tuli.
Audisme
bisa aktif atau pasif. Audisme aktif
dilakukan orang yang telah paham tentang orang tuli tapi tetap melakukan
diskriminasi, misalnya seorang kepala sekolah yang sudah melihat bahwa murid
tuli lebih suka berbahasa isyarat tapi masih menyuruh guru melarang siswa
berbahasa isyarat di ruang kelas. Audisme yang pasif dilakukan oleh seseorang
yang belum berpengalaman atau belum berpikir tentang orang-orang tuli dan belum
sadar tentang keberadaannya.
Bahasa
isyarat adalah
aspek budaya tuli dan diidentifikasi paling dekat dengan ketulian. Tuli dan keterbatasan pendengaran asli
- yaitu, mereka yang dibesarkan dengan bahasa isyarat - cenderung memiliki
keterampilan isyarat yang fasih. Setiap
negara memiliki bahasa isyarat sendiri, dan bahkan dalam negaranya. Dan hal
tersebut dapat menjadi sasaran salah satu diskriminasi yang penyandang
tunarungu rasakan dalam bentuk bahasa yang sudah menjadi budaya asli mereka
dalam berkomunikasi.
Ketidakadilan
ini dapat mereka rasakan dalam berbagai bentuk. Dalam bentuk fisik, budaya, dan
linguistik. Dalam bentuk fisik, banyak terdapat kasus orangtua memukuli anaknya
yang tuli karena ia tidak bisa mendengar. Dalam bentuk budaya dan lingustik
dapat dicontohkan beberpa kasus yang masih sering muncul di negara kita. Bahasa
isyarat telah dikatakan merupakan salah satu budaya tuli dalam mencapai
komunikasi yang tidak dapat dipisahkan dari diri penyandang tunarungu tersebut
karena bahasa tunarungu telah ada dan muncul dari diri mereka dengan sendirinya
dan alami. Terutama pada saat mereka menerima kothbah dalam ibadah yang
merupakan hal vital dalam menjadi manusia beragama yang diciptakan oleh Tuhan. Diskriminasi
tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja, baik kerabat paling dekat maupun
lingkungan sekitar mereka.
BAB
III
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Deskripsi Lokasi dan Komunitas yang
Dikunjungi
Setelah
kami melakukan wawancara, kami mendapatkan deskripsi lokasi dan komunitas yang
kami kunjungi yaitu sebagai berikut :
Komunitas
yang menyangkut tentang hal yang kita observasi telah kami temui di sebuah
acara di hari Minggu tanggal 2 Desember 2012 di Car Free Day di Jalan Slamet
Riyadi, tepatnya di depan Ngarsopuro. Komunitas ini berpusat di Jakarta dengan
nama GERKATIN ( Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia ) dan memiliki cabang
di Solo dengan nama Dewan Perwakilan Cabang ( DPC ) GERKATIN Solo. Gerkatin
cabang Solo berdiri sejak tanggal 18 Februari 1982. Anggota dari tahun ke tahun
semakin bertambah banyak. sekarang jumlah anggotanya hampir mencapai 300 orang,
namun hanya beberapa yang aktif dikarenakan jarak rumah yang jauh. Anggotanya
terdiri dari para remaja sampai dewasa dari umur 17 tahun ke atas. Tapi jika
ada penyandang tunarungu yang masih dibawah umur ingin ikut bergabungpun tak
apa. Markas atau sekretariatan GERKATIN Solo ini berada di Jalan Apel III No.
27 Jajar, Laweyan, Solo, tepatnya berada di belakang Samsat Solo. Organisasi
ini diketuai oleh Muhammad Isnaeni dengan periode jabatan tahun 2010 – 2014.
Organisasi ini terbentuk untuk memberikan semangat dan motivasi pada semua
penyandang tunarungu bahwa mereka tidak sendiri, mereka masih memiliki teman
yang senasib dengan dirinya, dan agar mereka juga tahu bahwa masih ada orang
yang mau peduli dengan mereka.
Kegiatan
yang sering dilakukan anggota GERKATIN Solo ini yaitu sosialisasi bahasa
isyarat di Car Free Day tepatnya di depan Adem Ayem, mengikuti berbagai
pelatihan yang diadakan untuk mereka, mengikuti berbagai seminar dan workshop,
menghadiri undangan komunitas, arisan, berbagai lomba, dan masih banyak lagi.
Di
GERKATIN Solo ini terdapat beberapa relawan. Terdapat sekitar 20 orang relawan
yang terjun langsung membantu dan menangani penyandang tunarungu. Sebagian
besar relawan berasal dari orang muda atau mahasiswa. Relawan yang terjun
langsung menangani penyandang tunarungu biasanya menyumbangkan retribusinya
sebagai pendamping dan penerjemah dalam sebuah acara yang diikuti oleh para
penyandang tunarungu. Sedangkan relawan yang tidak terjun langsung, menyumbangkan
retribusinya berupa dana dan bantuan kemanusiaan lainnya.
B. Analisis Masalah
Audisme
( Diskriminasi yang dilakukan terhadap penyandang tunarungu )
Penyandang tunarungu kurang dapat menerima informasi
dan komunikasi
Lingkungan
sekitar kurang mendukung
Lingkungan sekitar kurang peduli
Lingkungan sekitar menganggap si
penyandang tidak bisa seperti yang lain yang bisa mendengar
Penyandang tunarungu memiliki rasa
minder
Kita
adalah manusia yang tercipta dengan perbedaan dan keunikan yang dimiliki
individu. Namun terkadang masing-masing individu belum menyadari perbedaan yang
ada pada dirinya dengan orang lain. Tuhan menciptakan segala sesuatu yang ada
di muka bumi ini dengan sempurna. Perbedaan-perbedaan yang terkadang belum kita
sadari tersebut Tuhan ciptakan pula dengan maksud tertentu. Seperti saudara-saudara kita yang tuli yang tercipta
dengan keunikan tertentu. Memiliki keunikan yang berbeda dengan kita manusia
yang bisa mendengar.
Mereka
ada dengan keterbatasan yang mereka miliki, yaitu tidak bisa mendengar atau
orang biasa sebut mereka tuli. Tapi sebetulnya tidak perlu heran dengan keadaan
mereka yang berbeda. Mereka masih sama seperti kita, sama-sama sebagai ciptaan
Tuhan, sebagai manusia yang memiliki akhlak, budi pekerti, intelektual, dan
kasih sayang yang sama dengan kita yang dilahirkan lebih sempurna dengan
keadaan bisa mendengar. Hanya saja mereka tidak bisa menggunakan kemampuan
pendengaran mereka dengan maksimal sehingga mereka juga memiliki keterbatasan
dalam menerima ilmu, informasi, komunikasi dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan bahasa. Padahal dalam kehidupan kita manusia sangat tergantung dengan
bahasa yang sangat mempengaruhi aspek kehidupan kita. Dan dari situ terjadilah
diskriminasi yang dirasakan oleh para penyandang tunarungu.
Audisme
adalah diskriminasi yang ditujukan atau terhadap mereka yang memiliki
keterbatasan mendengar. Diskriminasi tersebut biasanya dilakukan oleh kita yang
bisa mendengar. Sering kali orang tuli dianggap tidak berharga. Sebenarnya jika
lingkungan sekitar, baik dari lingkungan terdekat maupun lingkungan masyarakat
secara umum mendukung maka mereka yang tuli dapat terbantu perkembangannya.
Namun terkadang masih ada beberapa kasus dimana orang tua memukuli anaknya yang
tuli karena kecewa anaknya tidak bisa mendengar.
Bahkan
di lingkungan keluarga yang seharusnya menjadi tempat paling nyamanpun, orang
tuli bisa mendapatkan perlakuan diskriminasi. Orangtua terkadang memaksa si
anaknya yang tuli menggunakan bahasa verbal yang biasa orang yang bisa
mendengar lakukan. Padahal sebenarnya itu menyulitkan si tuli sendiri. Apalagi
jika orangtua tidak menyekolahkan si anak ke sekolah khusus. Namun walaupun si anak
disekolahkan ke sekolah khusus yang melarang penggunaan bahasa isyarat, pada
kenyataannya semua anak atau orang tuli tidak dapat terlepas dari bahasa asli
mereka yang muncul dan berkembang dari dalam diri mereka, yaitu bahasa isyarat.
Meskipun si anak telah dibantu dengan alat bantu dengar, itu tidak akan banyak
membantu karena alat bantu dengar hanya dapat membuat suara menjadi lebih
keras, bukan untuk memperjelas suara yang didengar. Pada kasus penggunaan alat
bantu dengar ini juga kurang efektif melihat dana yang tidak sesuai dengan
kantong pendapatan masyarakat Indonesia. Masih cukup sulit untuk dijangkau.
Tidak
hanya dari kalangan terdekat tuli, diskriminasi lain juga ditunjukkan oleh
kalangan masyarakat, baik di lingkungan sekitar maupun di lingkungan sekolah.
Di lingkungan sekolah dapat kita ambil contoh dengan diadakannya kegiatan
belajar mengajar yang melarang penggunaan bahasa isyarat mereka didalam ruang
kelas. Padahal kepala sekolah maupun guru tersebut sebetulnya telah paham dan
mengetahui kebiasaan para murid-muridnya tersebut. Sedangkan di lingkungan
masyarakat, diskriminasi dapat kita temui secara lebih kompleks. Seperti
sekarang penggunaan bahasa isyarat di televisi dihapuskan sehingga membuat
orang tuli semakin kurang dapat mengetahui kabar dan informasi. Selain itu
masyarakat masih merasa asing dengan keberadaan mereka yang tuli, dan terkadang
sering masyarakat menjauhi dan menacuhkan mererka.
Ketiga
lingkungan sekitar orang tuli tersebut sebetulnya sangatlah berpengaruh bagi
perkembangan orang tuli. namun seperti yang telah diterangkan tadi bahwa
ketiganya menjadi contoh betapa belum adanya kesadaran tentang perbedaan yang
ada. Lingkungan cenderung terlanjur menganggap bahwa orang tuli tidak dapat
berbuat apa-apa karena mereka tidak bisa mendengar sehingga untuk berkomunikasi
dengan mereka sangatlah sulit. Tidak seperti orang lain yang bisa mendengar
kebanyakan. Orang tuli cendenrung tersisihkan. Contohnya saja dalam melamar
sebuah pekerjaan. Instansi-instansi akan lebih memilih orang yang bisa
mendengar menjadi pegawainya, walaupun orang tuli sudah menempuh pendidikan
yang layak dengan jenjang yang wajar.
Hal-hal
tersebut membuat orang tuli merasa memiliki hak yang tidak terpenuhi. Membuat
orang tuli menjadi lebih tertutup karena takut dengan lingkungan sekitar yang
pada kenyataannya telah dijabarkan seperti di atas. Membuat orang tuli memiliki
sifat yang lebih sensitif karena kecurigaan yang mereka munculkan terhadap kita
yang bisa mendengar. Membuat orang tuli memiliki rasa minder yang lebih kuat
dibanding kita orang yang bisa mendengar saat berhadapan dengan lingkungan yang
baru. Ketidakadilan hak yang harusnya tidak diterima oleh orang tuli.
Diskriminasi yang sering dirasakan orang tuli juga terjadi pula ketika hak
orang tuli tidak terpenuhi di tempat ibadah. Dimana semua orang sangat berhak
menerima kothbah dan firman yang dikabarkan oleh ulama atau romo di tempat
ibadah. Tapi kenyataan di negara kita hak untuk orang tuli tersebut belumlah
terpenuhi. Layanan khusus yang tujukan untuk mereka masih sangat sulit ditemui.
Kembali lagi karena keterbatasan mereka dalam berbahasa. Bahwa seperti kita
ketahui, bahasa yang digunakan saat misa berlangsung menggunakan bahasa dengan
kosakata yang sulit dimengerti oleh orang tuli.
Dengan
adanya kasus tersebut, tidak dipungkiri bahwa seorang penerjemah sangatlah
dibutuhkan untuk itu. Selain dapat membantu untuk berkomunikasi bagi mereka
yang tuli, penerjemah juga dapat menjadi seorang partner, teman, bahkan sahabat
yang dapat memberikan semangat dan motivasi lebih bagi perkembangan orang tuli
dalam bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Relawan-relawan yang membantu secara
langsung maupun tidak langsungpun sangatlah membantu mereka. Pada dasarnya para
kaum disabilitas, tidak hanya penyandang tunarungu, membutuhkan bantuan, namun
mereka tidak butuh dikasihani. Kalau
perlu dibantu, bantulah! Namun anggaplah kita semua sama. Mereka juga bagian
untuk masa depan. Jadi, ubah persepsi buruk tentang mereka dan tanamkan
persepsi yang positif.
BAB IV
REFLEKSI IMAN
A. Prinsip Dasar
1
Korintus 13: 4 – 6
Kasih
itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan
tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopandan tidak mencari keuntungan
diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia
tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran.
Ayat
tersebut menunjukkan bahwa dasar dari perlakuan keadilan yang kita lakukan
adalah kasih yang telah Yesus ajarkan pada kita. Ketidakadilan muncul jika kita
tidak memiliki landasan kasih yang kuat dalam diri kita.
Dalam
Ajaran Sosial Gerja
Tema – 4
Cintakasih dan Keadilan Merupakan Satu Kesatuan
Cintakasih dan Keadilan Merupakan Satu Kesatuan
Pokok-pokok :
•
Mencintai
sesama merupakan tuntutan mutlak dari keadilan.
•
Hal
itu terjadi karena cintakasih menyatakan diri dalam tindakan-tindakan nyata dan
dalam tatanan struktural masyarakat yang menghormati martabat manusia, melindungi
hak-hak asasi
manusia dan mempermudah jalan bagi perkembangan manusia.
•
Menegakkan
keadilan berarti merombak struktur-struktur yang menghambat perwujudan
cintakasih.
•
Keadilan
di dalam Dunia, no. 16 dan 34, Pacem in Terris.
Inspirasi
bertindak :
•
Keadilan
adalah tuntutan konstitutif dari warta gembira Injil.
•
Umat
Katolik harus ikut serta mewujudkan keadilan sosial itu dalam hidupnya dan
selalu menyuarakan pentingnya keadilan dalam setiap karya yang dilakukan.
•
Cintakasih
harus nyata dalam keadilan, dan keadilan baru akan nyata bila ada cintakasih.
Ajaran
sosial ini menunjukkan bahwa cinta kasih dan keadilan merupakan satu kesatuan
yang saling mempengaruhi. Dengan ditanamkannya cinta kasih dalam diri
masing-masing pribadi, maka tak dipungkiri bahwa ketidakadilan tidak akan
singgah dalam diri dan lingkungannya. Seperti yang nampak bahwa cinta kasih
haruslah nyata kita berikan dalam keadilan, maka keadilan akan nyata bila ada
cinta kasih yang mendasarinya. Kita, khususnya umat Katolik hendaknya mewujudkan
keadilan tersebut.
B. Tanggapan Iman
Melihat
apa yang telah kita pahami pada obyek analisa sosial yang kita pilih, dapat
kita ambil segala sesuatu yang baik dari ketidakadilan yang menimpa
saudara-saudara kita yang tuli. Suatu pengalaman yang menyenangkan bisa
mengenal mereka pada saat ini. Menyadari betapa Yesus sangant mencintai kita.
Menyadari segala bentuk kelebihan yang sering kita anggap sebagai kekurangan
yang membawa aib. Tapi setelah melihat secara langsung apa yang telah ditemui,
membuat kita sadar bahwa kita jauh lebih memiliki kesempurnaan dibandingkan
saudara-saudara kita yang memiliki keterbatasan mendengar. Menanggapi hal
tersebut, kami berencana untuk memiliki tindakan yang nyata.
Action Plan
Setelah
melakukan berbagai rancangan serta turun ke lapangan untuk mengetahui apa
penyebab ketidakadilan yang kita bahas pada kesempatan kali ini, kami
merencanakan beberapa aksi untuk mengubah ketidakadilan yang terjadi pada obyek
analisa sosial kita yaitu dengan :
·
Membuat poster yang berhubungan dengan ketuanarunguan
dan tentang hak-hak mereka yang belum terpenuhi yang kemudian dibagikan melalui
akun facebook maupun twitter atau media sosial lainnya.
·
Membuat stiker bahasa isyarat yang akan
diberikan pada masyarakat sekitar supaya masyarakat juga dapat memahami bahasa
mereka sehingga nantinya dapat mempermudah tuli dalam berkomunikasi dengan
orang yang dapat mendengar.
·
Mengikuti acara sosial teman-teman
tunarungu dan ikut membantu mereka khususnya dalam bersosialisasi.
Selain
rencana aksi yang dibuat dalam kelompok, ada pula rencana aksi yang dibuat
secara pribadi. Berikut rencana aksi untuk teman-teman tuli yang menjadi obyek
analisa sosial kami :
·
Lebih ikut serta dalam membantu
memperjuangkan hak mereka dalam berbagai hal.
·
Ikut serta menjadi relawan secara
langsung maupun tidak langsung dalam sebuah instansi atau lembaga resmi maupun
tidak resmi yang menangani keterbatasan penyandang tunarungu.
·
Mempelajari bahasa mereka.
·
Mulai mengajak mereka ikut serta dalam
ibadah, khususnya agama Katolik.
·
Semampu mungkin membantu mereka.
Itu
sedikit tindakan kecil yang akan saya lakukan setelah saya mengetahui
permasalahan mereka yang berhubungan tentang ketidakadilan yang mereka rasakan.
Dari apa yang telah direncanakan ini semoga dapat membangkitkan rasa kepedulian
kita terhadap ketidakadilan, khususnya untuk obyek yang kita pilih dalam tugas
analisa sosial ini yaitu, para penyandang tunarungu.
BAB V
PENUTUP
PENUTUP
A. Simpulan
Dari
hasil wawancara dan segala sesuatu yang telah kita lakukan untuk pengolahan pada
analisa sosial kali ini dapat disimpulkan bahwa :
Segala
sesuatu yang ada disekeliling kita memiliki keunikan dan perbedaan
masing-masing. Kita perlu menyadari dan memaknai keunikan dan perbedaan yang
ada tersebut. Karena kita diciptakan di tempat yang sama oleh pencipta kita
yang Agung, Tuhan Yesus Kristus. Sehingga kita bisa meminimalisir atau bahkan
menghapus ketidakadilan yang terjadi diantara saudara-saudara kita yang
memiliki keterbatasan dalam mendengar. Karena sebenarnya diantara kita yang
bisa mendengar dan mereka yang tuli tidak adea perbedaan yang berarti jika kita
menyadari dan memaknainya. Kita sama-sama ciptaan Tuhan Yesus Kristus,
sama-sama menjadi manusia, memiliki derajat yang sama. Tidak semestinya kita
yang bisa mendengar melakukan ketidakadilan terhadap mereka.
B. Saran
Dari
simpulan yang telah diambil, maka kita sebagai kaum muda Katolik kiranya dapat mengambil
hikmah yang baik dari apa yang telah kita ketahui dari analisa sosial yang
telah dilakukan. Kiranya hati kita semakin terbuka dengan perbedaan yang
akhirnya bisa ditampakkan pada kita. Mau menerima dan membantu lebih jauh kaum
disabilitas, khususnya mereka yang tidak bisa mendengar. Baik membantu secara
langsung maupun secara tak langsung. Karena sekecil apapun bantuan yang telah
diberikan, itu memiliki arti yang lebih bagi mereka. Sebagai ucapan syukur kita
yang memiliki keadaan fisik, mental, dan lingkungan sekitar yang lebih
sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Sutjihati,
T. Somantri. Psikologi Anak Luar Biasa.
1996
Abdurrachman,
Muljono & S. Sudjadi. Pendidikan Luar
Biasa Umum. Jakarta. 1994
LAMPIRAN
Rancangan
Daftar Pertanyaan :
·
Obyek Analisa
1. Tunarungu
2. Relawan
3. Dosen
4. Romo
5. Ulama
6. Masyarakat
·
Daftar Pertanyaan :
Mendiskripsikan
komunitas yang dikunjungi ( lokasi :
letak / posisi, deskripsi sosio historis – sejarah komunitas, deskripsi
demografi penduduk )
·
Lokasi / posisi wawancara :
Tempat : Ngarsopuro saat Car Free Day
Tanggal :
2 Desember 2012
Jam : 7 – 9 pagi
·
Pertanyaan untuk komunitas :
1. Ini
komunitas atau organisasi ?
2. Berapa
orang yang mengikuti komunitas/ organisasi ini ?
3. Apakah
semua anggota yang bergabung adalah tunarungu ?
4. Apakah
ada relawannya ?
5. Ada
berapa relawan yang membantu ?
6. Komunitas
/ organisasi ini siapa yang mengetuai ?
7. Kumpul
komunitas / organisasi ini dimana ? (alamat lengkap)
8. Komunitas
? organisasi ini berdiri sejak kapan ?
9. Siapa
pendirinya ?
10. Mengapa
komunitas / organisasi ini terbentuk ?
11. Kok
bisa bertahan sampai sekarang ya ? Apakah ada kendala-kandalanya ?
12. Apakah
komunitas ini hanya ada di Solo ?
13. Kalau
Cuma ada di Solo, bagaimana nasib tunarungu yang ada di luar Solo ?
14. Bagaimana
cara menjadi relawan ?
15. Kegiatan
apa saja yang ada di organisasi ini ?
16. Apa
tugas relawan untuk membantu mereka ?
17. Bagaimana
tanggapan masyarakat dan keluarga tentang komunitas ini?
·
Pertanyaan untuk relawan :
1. Berkenalan
terlebih dahulu
2. Mengapa
anda tertarik untuk membantu mereka ? Apa alasannya ?
3. Apa
yang bisa relawan lakukan untuk membantu mereka ?
4. Bagaimana
ceritanya anda bisa bertemu dengan mereka dan sekarang bisa membantu mereka ?
5. Relawan
yang membantu mereka ada berapa ?
6. Apakah
tidak merasa terganggu kegiatan / kerja dengan adanya kegiatan ini ?
7. Apa
sebetulnya kesulitan-kesulitan yang dialami oleh penyandang tunarungu ?
8. Bagaimana
mereka berkomunikasi ?
9. Apakah
tunarungu mengerti jika ada orang yang bisa mendengar berbicara dengan mereka ?
10. Apa
bisa sebaliknya ?
11. Sarana
dan layanan apa saja yang sudah pemerintah berikan kepada mereka ? apakah itu
sudah bisa membantu mereka ?
12. Sebenarnya
perlu apa sajakah untuk membantu tunarungu berkomunikasi ?
13. Bagaimana
mereka menerima hak mereka untuk menerima kothbah, padahal mereka juga memiliki
agama dan setiap orang beragama berhak menerima kothbah firman trsebut sehingga
dapat melaksanakan kewajiban mereka masing-masing dalam beragama ? bagaimana
itu dapat diatasi ?
14. Apakah
sudah ada layanan yang diberikan untuk mereka dari instansi agama seperti
masjid, gereja, pure dll itu ?
15. Lalu
kita harus bagaimana menanggapi itu ?
16. Bagaimana
tanggapan masyarakat dan keluarga mereka menanggapi keadaan mereka yang
tunarungu ?
·
Pertanyaan untuk penyandang tunarungu :
1. Berkenalan
terlabih dahulu
2. Kesulitan
apa saja yang ditemui dalam berkomunikasi ?
3. Bagaimana
sikap keluarga dengan keadaan kamu ?
4. Bagaimana
sikap masyarakat dengan keadaan kamu ?
5. Apa
harapanmu ?
6. Bagaimana
jika kamu ke gereja / tembat ibadah dan saat dilaksanakannya kothbah ?
Hasil Wawancara Analisa Sosial
Terjun
ke lapangan sudah dilaksanakan bersama pada :
Tanggal : 2 Desember 2012
Waktu : Pk. 07.00 – 09.00 WIB
Tempat : Jalan Slamet Riyadi depan
Ngarsopuro
Acara :
Memperingati Hari Penyandang Cacat Internasional yang di laksanakan di agenda rutin Kota Solo,
Car Free Day
Pada
hari tersebut kami berhasil mewawancarai beberapa orang, yaitu :
1.
Nama : Rully Anjar A
Profesi :
Guru PLB dan Relawan di GERKATIN Solo
Umur :
23 tahun
Alumni mahasiswa PLB FKIP UNS, lulus tahun
2012.
2.
Nama : Winda Utami
Profesi :
Mahasiswa Psikologi UMS dan relawan GERKATIN Solo
Umur :
24 tahun
3.
Nama : Rifa Galindra
Profesi :
Mahasiswa POK UNS dan relawan GERKATIN Solo
Umur :
23 tahun
4.
Nama : Finda Ayu
Profesi :
Mahasiswa PLB UNS angkatan 2011 dan relawan GERKATIN Solo
Umur :
19 tahun
5.
Anggota Komunitas Sepeda
6.
Nama : Nuri
Profesi :
Anggota Komunitas Earth Hour Solo
Alumni mahasiswa Tekhnik Kimia UNS
Dan
pada hari lain, kami berhasil mewawancarai beberapa orang, yaitu :
1.
Nama : Rosi Kristian
Profesi :
Bekerja di Bandung dan relawan GERKATIN Solo
Umur :
28 tahun
Tempat wawancara : Burjo dekat Poltekes Negeri Mojosongo, Solo
2.
Nama : Nadia Devina
Profesi :
Mahasiswa PLB UNS angkatan 2012
Umur :
18 tahun
Tempat wawancara : Gedung E FKIP UNS
3.
Nama : Romo Eko
Profesi :
Imam Paroki Gererja St. Perawan Maria Regina Purbowardayan
Tempat wawancara : Gereja St. Perawan Maria Regina Purbowardayan
4.
Pedagang Burjo dekat Poltekes Negeri, Mojosongo, Solo
5.
Nama : Rizky Agustino Rafael
Profesi :
Siswa kelas 2 SMK Farmasi Nasional Surakarta dan anggota GERKATIN Solo
Umur :
20 tahun
Tempat wawancara : Rumah Rizky di Fajar Permata, Solo
6.
Nama : Muhammad Zulfrida
Profesi :
Mahasiswa Tekhnik Informatika Universitas SINUS Solo semester 3 dan relawan GERKATIN Solo
Umur :
23 tahun
Tempat wawancara : Wedangan Tri Bodor depan SLB, samping SMA Negeri 6 Solo
Hasil
wawancara dari beberapa narasumber :
1. Rully
Anjar A
Sebagai
relawan sekaligus mengikuti Kegiatan GERKATIN Solo. Menjadi relawan sudah lebih
dari 2 tahun.
Tentang
organisasi ini berdiri sejak 18 Februari 1982, bernama DPC GERKATIN Solo (Dewan
Perwakilan Cabang Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia). GERKATIN
memiliki pusat yang berada di Jakarta. Organisasi ini menampung penyandang
tunarungu yang berumur 17 tahun keatas, namun jika masih di bawah itu ingin
mengikutipun tidak menjadi masalah. Anggota Organisasi sudah mencapai 200an
penyandang di Solo dan sekitarnya. Telah di ketuai oleh Muhammad Isnaeni dalam
periode 2010-2014. Markas DPC GERKATIN Solo ini berada di Jalan Apel III no. 27
Jajar, Laweyan, Solo, tepatnya di belakang Samsat. Tujuan dari organisasi ini
yaitu untuk memotivasi para penyandang tunarungu serta memberikan semangat
supaya para difabel tidak merasa sendiri, bahwa mereka sebenarnya memiliki
banyak teman yang senasib dengan dirinya, dan juga agar mereka merasa
diperhatikan oleh orang lain, bahwa masih banyak orang yang peduli pada
difabel.
Untuk
para tunarungu di Indonesia dalam
berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat, oral (gerak bibir) dan tulisan. Untuk
sesama tunarungu cukup menggunakan bahasa isyarat dan oral, mereka sudah
mengerti satu sama lain. Namun jika berkomunikasi dengan mereka yang bisa
mendengar, para penyandang tunarungu menggunakan 3 cara tersebut dengan maksud
agar orang yang bisa mendengar dapat paham dan mengerti apa yang dikatakan oleh
tunarungu tersebut. Ketiga cara tersebut dilakukan karena orang yang bisa
mendenga di Indonesia tidak tahu dan mengerti tentang bahasa isyarat. Itulah
salah satu yang membuat para tunarungu minder apabila harus berkomunikasi
dengan orang yang bisa mendengar.
Ketidakadilan
ini terasa karena para penyandang tunarungu harus menggunakan 3 cara tersebut
dalam berkomunikasi dengan mereka yang bisa mendengar. Mengapa harus mereka
yang memiliki kekurangan yang perlu menyesuaikan terhadap kita yang memiliki
segalanya lebih sempurna dibanding mereka. Kesadaran itu yang sampai sekarang
belum terasa di Indonesia sampai sekarang ini secara menyeluruh. Namun setelah
muncul para relawan, para tunarungu merasa terbantu dalam berkomunikasi dengan
orang yang bisa mendengar.
Dalam
penerimaan kothbah atau firman yang disampaikan oleh ulama atau imam, mereka
belum dapat menikmatinya jika tidak ada penerjemah dari relawan atau pihak
keluarga yang membantu. sedangkan belum memungkinkan hal itu terjdi dikarenakan
jumlah relawan dan orang yang bisa berbahasa isyarat haya segelintir dibanding
para penyandang tunarungu. Karena satu-satunya bhasa yang mereka mengerti
adalah bahasa isyarat.
Untuk
relawan di DPC GERKATIN Solo ini ada sekitar 20-an orang yang dapat membantu
dalam menerjemahkan ke bahsa isyarat. Namun jumlah tersebut belumlah cukup
untuk mereka yang berada di Solo. Para relawan diberikan pelatihan bahasa
isyarat terlebih dahulu. Yang biasanya diadakan pada 2 minggu sekali di CFD
Solo dari jam 7 – 9 pagi. Selain itu ada kelas bahasa isyarat bagi para
penerjemah baru. Relawan tidak hanya sebagai penerjemah saja, melainkan juga
bisa berteman baik dan akrab dengan mereka. Dengan harapan dapat mengurangi
beban mereka.
Selain
menyumbang tenaga menerjemahkan, ada pula yang cukup dengan menjadi donatur
kegiatan mereka. Itu sudah cukup membantu.Dana yang dibutuhkan untk menunjang
organisasi ini adalah dari sosial, jadi bukan lembaga khusus yang mendanai
kegiatan-kegiatan mereka.
Organisasi
ini dapat bertahan karena adanya dorongan dan perhatian dari relawan itu
sendiri, kasih sayang dari keluarga mereka, berbagai kegiatan yang menambah
keaktifan, ilmu dan pengalaman mereka serta menambah semangat dalam diri
penyandang tunarungu, adanya berbagai pelatihan yang relawan sajikan untuk
menunjang kehidupan para tunarungu tersebut.
2. Winda
Utami
Telah
menjadi relawan sekitar 10 bulan. Banyak pengalaman yang bisa diambil dari
mereka. Saya mulai tertarik dan betah dengan mereka para penyandang tunarungu
karena mereka seakan terbuka dengan keberadaan saya, memberikan kepercayaan
terhadap keadiran saya, mulai sering curhat dan bercanda dengan saya, seakan
saya sangat dibutuhkan oleh mereka. Selain itu bahasa yang mereka gunakan
sangatlah asyik dan seru untuk dipeljari, tidak sia-sia pula mempelajari itu
karena semua dapat membantu apa yang menjadi kekurangan mereka.
Tanggapan
masyarakat terhadap mereka berbeda-beda. Ada yang meras biasa saja, takut, dan
ada yang merasa kasihan. Yang mereka butuhkan bukan rasa kasihan, melainkan
dukungan dan dorongan. Sempat salah satu warga saya curiga dan ketakutan saat
saya membawa salah satu dari mereka berkunjung ke rumah saya. Namun setelah
saya jelaskan, keadaan menjadi lebih baik. Mereka juga bukan suatu gangguan
yang perlu ditakuti dan dicurigai. Mereka sama dengan kita, hanya saja mereka
tidak bisa mendengar dan berbicara. Mereka memiliki intelegensi yang sama
dengan orang yang bisa mendengar seperti kita, namun adanya keterlambatan dalam
proses untuk menuju ke tingkat intelegensi yang sdama dengan kita pada umur
tertentu pada umumnya.
Keterlambatan
itu yang menjadikan lebih berbeda. Tergantung pula bagaimana faktor yang
mempengaruhinya. Faktor pendidikan, keluarga, masyarakat dan dirinya sendiri.
Jika
membicarakan tentang hak mereka dalam menerima kothbah atau firman yang
diberikan oleh ulama atau imam, mungkin belumlah bisa merata dinikmati oleh
seluruh tunarungu yang ada di Indonesia. Menurut saya karena fasilitas yang
membantu mereka belum ada. Apalagi jika kothbah yang diperuntukkan untuk agama
saya, islam. Mungkin lebih rumit dibanding agama Kristen maupun Katholik karena
antara umat laki-laki dengan wanita tidaklah boleh campur dalam beribadah dan
masih ada aturan lainnya lagi. Sebetulnya sudah ada yang bergerak dalam bidang
ini, tapi mereka yang ada di Jakarta, di Solo belumlah terjadi.
Maka
disini diperlukannya kesadaran masyarakat dan pemerintah dalam memandang para
difabel, termasuk para penyandang tunarungu.
Tanggapan
yang dilontarkan masyarakat dan keluarga penyandang tunarungupun berbeda-beda.
Ada yang pro dan ada yang kontra. Namun relawan disini untuk itu membantu
meyakinkan masyarakat dan keluarga yang kontra sehingga mendukung pergerakan
untuk mensejahterakan para tunarungu. Menjadi teman, sahabat, penerjemah,
relawan, dan mungkin keluarga ke dua bagi merekalah yang sampai sekarang masih
kami lakukan untuk mereka.
Untuk
menjadi seperti kami, relawan, tidaklah sulit. Tinggal datang saja setiap
pertemuan kami, berkenalan, bermain isyarat, bersendau gurau, mengikuti
kegiatan yang ada, menerjemahkan, atau membantu hal yang lain untuk mereka,
sudahlah anda sah menjadi.
3.
Rifa Galindra
Saya
sudah mengikuti dan membantu mereka sekitar 7 bulan lamanya. Saya belum begitu
fasih jika diminta untuk menerjemahkan, tapi untuk berkomunikasi dengan mereka,
tak perlu ditanya, saya sudah sanggup. Saya pertama tertarik dengan mereka
karena pertemuan di sebuah rapt komunitas di Solo. Tertarik dengan gerakan
bahasa mereka. Unik dan sepertinya asyik untuk di coba. Dan memang sangat
asyik.
Akhir-akhir
ini anggota relawan kami bertambah karena adanya perekrutan penerjemah. Khusus
penerjemah. Tapi untung saja, saya sudah berada di dalam mereka, jadi tidak
perlu melalui tahap seleksi. Teman-teman dan sahabat para tunarungu kini
bertambah. Mereka sangat senang dan menyambut para penerjemah baru yang
terpilih. Dengan harapan yang masih itu-itu saja. Mensosialisasikan bahasa
isyarat pada semua masyarakat sehingga dapat mempermudah mereka berkomunikasi
dengan kita yang memiliki keadaan yang lebih sempurna. Memperjuangkan pula
kesejahteraan dan kesetaraan hidup mereka. Untuk itu kami, relawan ada.
Ya,
harapannya sih semua masyarakat Indonesia bersedia menjadi relawan mereka dalam
berbahasa dan berkomunikasi. Sehingga benar-benar tidak terjadi kesenjangan
antara yang bisa mendengar dan mereka yang tunarungu.
Kalau
masalah hak mereka dalam menerima kothbah atau firman, menurut saya masih sulit
dirasakan oleh para tunarungu. Padahal setiap manusia yang beragama perlu untuk
menerima itu untuk menambah kedekatannya pada Penciptanya. Disini ketimpangan
bisa terjadi. Dan baru sedikit atau malah belum ada yang sadar akan itu, baik
dari masyarakat awam ataupun masyarakat yang bergerak di bidang keagamaan.
Belum ada fasilitas yang dapat membantu mereka.
Satu-satunya
jalan dalam menjebatani itu mungkin dengan adanya penerjemah bahasa isyarat.
Tapi pada kenyataannya sekarang perbandingan penerjemah dan para tunarungu
perbandingannya sangat berbeda jauh, sekitar 1 : 10 orang. Itu belum menurut
aturan yang ada dalam setiap agama yang dianut masing-masing. Jadi sebenarnya
susah jika semua tidak terlibat untuk itu.
Tanggapan
masyarakat Solo sih sebagian besar sudah tidak heran, takjub, aneh, dan takut.
Masyarakat Solo sudah menanggapinya dengan biasa saja. Mungkin sudah merupakan
sebagian dari kita. Tapi untuk masyarakat yang lain di luar solo, saya belum
begitu tahu. Mungkin masih ada perasaan takut, curiga, heran, takjub, aneh
tersebut, apalagi di daerah terpencil.
4.
Finda Ayu
Sudah
bergabung di GERKATIN Solo sekitar 1,5 bulan. Bahasa yang dilakukan oleh
penyandang tunarungu ini adalah alami. Mereka telah memiliki kemampuan ini
sejak kecil. SLBB YRTRW ini salah satu sekolah yang memfasilitasi keberadaan
tunarungu untuk membekali mereka dalam penyetaraan dan kesejahteraa hidup
mereka. Walaupun pada kenyataannya masih ada kesenjangan yang terjadi.
Para
penyandang tunarungu masih sering dijauhi oleh beberapa orang normal lainnya
karena masih adanya rasa takut dan curiga terhadap mereka. Namun ada juga yang
masih peduli dengan keadaan mereka. Penyandang tunarungu meras tidak perlu
dikasihani. Hidup mereka masih cukup mandiri dan aktif dalam kegiatan-kegiatan
lain walaupun mereka masih membutuhkan penerjemah dalam melakukan segala
aktivitasnya.
Banyak
respon yang muncul dari keluarga mengetahui bahwa anak mereka adalah penyandang
tunarungu. Ada yang mendukung dengan respon yang baik dan ada pula yang tidak.
Ada keluarga yang malu dan ada keluarga yang menerimanya dengan baik dan
memperlakukannya seperti anak yang lain walaupun dengan keterbatasan yang ada.
Keluarga yang cenderung malu dengan keadaan anaknya terkadang membatasi
aktifitas luar anaknya. Karena itu keluarga membiasakan anaknya untuk
berkomunikasi dengan cara oral agar mempermudah orangtua dan saudara-saudaranya
dalam berkomunikasi dengan dia.
Para
penyandang tunarungu sekarang tidak hanya bersekolah di SLB saja, melainkan
sudah ada beberapa yang bersekolah di sekolah umum yang mengajarkan pelajaran
kurikulum biasa. Namun kebanyakan sekolah umum tersebut belum berbasis inklusi
dimana sekolah dan sistem pembelajarannya menyesuaikan kemampuan si anak yang
berkebutuhan khusus. Jadi selama ini pada kenyataannya mereka yang bersekolah
di sekolah umum itu tentu harus menyesuaikan lagi dengan lingkungan orang yang
bisa mendengar. Walaupun sudah di buka sekolah inklusi, tapi jumlahnya masihlah
sangat sedikit di Indonesia ini.
5.
Anggota Komunitas Sepeda
Dengan
acara seperti pada hari ini (Hari Minggu, 2 Desember 2012) mungkin bakat mereka
dapat tersalurkan dan mereka juga depat terhibur, sekaligus mereka dapat
bersosialisasi dengan masyarakat umum. Karena kebiasaan orang yang memiliki
keterbatasan seperti mereka memiliki rasa minder yang lebih besar dibandingkan
kita yang normal. Mungkin dikarenakan tanggapan dan presepsi masyarakat yang
membuat mereka seperti itu.
Bagi
saya, mereka yang minoritas perlu mendapat hiburan yang di suguhkan seperti
pada hari ini. Selain para penyandang cacat yang perlu membiasakan diri dengan
masyarakat umum, masyarakat umum juga perlu membiasakan diri terhadap kehadiran
mereka. Tapi saat ini menurut saya belum terjadi hal yang seperti itu.
6.
Nuri
Kalau
tentang menerima hak dalam kothbah, dalam agama saya, islam mungkin sulit. Coba
tanyakan saja pada pengurus masjid umum yang ada. Apa boleh jika membuat suatu
kelompok kecil khusus untuk tunarungu saat ibadah di masjid berlangsung.
Mungkin itu boleh jika di masjid umum, tapi kalau di masjid khusus kemungkinan
tidak diperbolehkan. Karena masjid yang satu dengan masjid yang lain memiliki
aturan yang berbeda-beda.
Kalau
untuk agama lain, saya kurang paham.
7.
Muhammad Zulfrida
Banyak
yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka. Berupa tenaga, waktu, pikiran,
harta, doapun bisa kita sumbangkan oleh mereka. Saya menjadi relawan sudah
beberapa tahunyang lalu, tapi saya tidak rutin mengikuti kegiatan-kegiatan yang
ada di GERKATIN. Namun sekarang,saya sudah mulai aktif kembali.
Kebanyakan
masyarakat belum bisa berkomunikasi dengan mereka. Karena bahasa mereka dengan
bahasa kita yang bisa mendengar itu berbeda. Kita kesulitan memahami isyarat
yang mereka lontarkan pada kita, demikian pula mereka juga tidak paham dengan
bahasa verbal yang biasa kita gunakan. Perbedaan inilah yang membuat komunikasi
tidak berjalan dengan baik antara tunarungu dengan kita yang bisa mendengar.
Apalagi jika salah satu dari kita tidak mau mengalah.
Dari
yang sering saya jumpai, tunarungulah yang sering mengalah dalam berkomunikasi.
Mereka harus menyesuaikan bahasa dengan kita. Padahal mereka memiliki
keterbatasan. Tak eloklah kita yang memiliki keadaan yang lebih sempurna tidak
mau mengalah dalam hal itu. kesadaran toleransi masyarakat yang bisa mendengar
belumlah terbentuk.
Layanan
yang pemerintah berikan saya rasa belum ada jika masyarakat sendiri belum
bergerak aktif dalam mendukung pergerakan mereka menyetarakan dan
mensejahterakan hidup. Sedangkan para penyandang tunarungu sudah selama
bertahun-tahun aktif mensosialisasikan bahsa mereka, berharap ada yang tergerak
hatinya membantu mereka, khususnya dalam berkomunikasi.
Jika
berbicara tentang penerimaan kothbah di rumah ibadat. Dalam agama saya itu
sulit. Banyak aturan-aturan yang perlu diperhatikan dan antisipasi jika memang
benar ada penerjemah datang membantu. tapi pada kenyataannya, penerjemah
belumlah cukup memfasilitasi mereka yang tersebar di Indonesia. Menurut
pemikiran saya, dalam menyampaikan kothbah dari ulama tak perlu pada saat
berlangsungnya ibadat tersebutpun tak apa. Di lain waktu mungkin bisa
disampaikan. Toh itu tidak mengurangi amanah dan hikmah yang diberikan dengan
syarat si penyandang tunarungu mengikuti tatacara ibadah saat itu sampai
selesai. Namun kalau agama lain, saya kurang paham.
Harapannya,
masyarakat mau ikut ambil bagian dalam mensejahterakan dan menyetarakan hidup
mereka dengan orang yang bisa mendengar.
8.
Rizky Agustino Rafael
Dulu
bersekolah di SLB/B Karya Bhakti Don Bosco Wonosobo. Diajarkan menggunakan
bahasa oral, bukan bahasa isyarat. Tapi terkadang dalam berkomunikasi dengan
sesama teman tunarungu masih ngeyel menggunakan bahasa isyarat. Pendidikan
disana sangat keras. Masih mengikuti tradisi pengajaran sekolah saat itu.
Saya
sudah terbiasa menggunakan oral dalam lingkup keluarga saya. Namun terkadang
diluar itu, saya masih menggunakan bahsa isyarat. Apalagi setelah saya tahu dan
menjadi anggota GERKATIN Solo. Saya mendapat teman yang sama dengan saya. Di
sana juga terdapat orang yang bisa mendengar yang menjadi relawan. Tarnyata ada
yang masih peduli dengan kita selain bapak ibu pendidik sekolah SLB.
Keluarga
saya mengharuskan saya menggunakan oral saat berkomunikasi dengan siapapun.
Beruntungnya saya menguasai itu. Dan beruntungnya saya memiliki keluarga yang
menyekolahkan saya di sana. Namun bahasa isyarat tak lepas dari saya. Seperti
sudah mendarah daging. Misalnya saja, orang Indonesia yang kesulitan belajar
bahasa asing yang lain, begitu pula bahasa isyarat. Jika bahasa asing
dipelajari secara rutin, maka kita dapat menguasainya secara baik. Begitupun
bahasa isyarat yang tidak perlu mendatangkan orang asing dinegara kita, namun
cukup mencari mereka tunarungu dinegeri kita sendiri.
Saya
tidak menemui kesulitan yang sangat saat saya berkomunikasi dengan masyarakat
umum. Berkat pendidikan yang luar biasa yang saya tempuh. Saya dapat paham apa
yang dikatakan orang yang bisa mendengar dan dapat menjawabnya secara tepat
tanpa ragu-ragu. Namun berbeda dengan kawan-kawan saya yang berada di GERKATIN
Solo yang kebanyakan bersekolah di SLB yang pendidikannya biasa saja (saya
pikir) sehingga membuat mereka masih kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang
yang bisa mendengar. Mereka belum mahir dalam membaca bibir orang yang bisa
mendengar, terkadang masih tidak nyambung dengan apa yang sedang dibicarakan
dengan orang yang bisa mendengar, jarang menjawab pertanyaan secara tepat dari
orang yang bisa mendengar, dan sangat tergantung dengan bahsa isyarat.
Kata
salah satu teman, memang benar di SLB tidak di berikan pendidikan tentang bahasa
isyarat, kurikulum tidak mengajarkan tentang itu. Sama seperti SLB yang saya
lalui dulu. Tapi mengapa mereka tidak seperti saya??? Ternyata, selain sistem
pengajaran yang sekolah berikan berbeda waktu itu, peran orangtua langsung
terjun mendampingi anak dalam berkembang sangatlah kurang. Bahkan ada perlakuan
orangtua yang bisa dianggap itu sebuah pelanggaran hukum karena memperlakukan
anak dengan kekerasan. Sebut saja Bima, teman saya tunarungu juga dari
GERKATIN, dia sering mendapat perlakuan yang kasar dari orangtuanya, baik
secara fisik maupun mentalnya. Suatu saat, dia melihat adiknya asyik
bercakap-cakap dengan orangtuanya dan itu berlangsung lama dan itu membuat Bima
penasaran sehingga dia berencana untuk mencoba melakukan seperti yang adiknya
lakukan. Suatu hari mencobalah dia. Hasilnya, percakapan berlangsung beberapa
menit saja dengan jawaban singkat yang dilontarkan orangtuanya dan kemudian
berakhir dengan ditinggalpergilah Bima sendiri oleh orangtuanya yang mungkin
merasa bosan dengannya.
Itu
salah satu kejadian yang Bima rasakan. Itu baru Bima,, belum yang lain. Jadi
menurut tanggapan saya, semua perkembangan penyandang tunarungu tergantung dari
pengasuhan dan sistem dari orangtua dan si pendidik di sekolah. Diluar itu,
dalam berkomunikasi pasti akan baik-baik saja jika kedua aspek tersebut
terpenuhi. Dalam menerima kothbah, sebetulnya sama saja tergantung dari kedua
aspek tersebut. Namun, bagi saya sebetulnya masih mengalami kesulitan jika
tidak didampingi oleh penerjemah karena jarak Romo dan saya terlalu jauh,
selain itu bahasa yang digunakan dalam misa juga bahasa yang tinggi dan
bermakna dalam juga artikulasi romo yang kurang jelas jika diperhatikan secara
langsung. Itu kesulitan yang masih saya alami. Jadi sangat perlu penerjemah
untuk itu. itu saya, kalau penyandang tunarungu yang lain bagaimana??
Penerjemahsangatlah membantu untuk itu.
9.
Rosi Kristian
Saya
sudah hidup dengan tunarungu sejak saya kecil, karena kakak kandung saya
memiliki keterbatasan itu. Mau tidak mau saya harus berurusan dengan
ketunarunguan dan segala komponen yang ada di dalamnya.
Bahasa
isyarat itu tercipta secara alami dari diri tunarungu itu sendiri. Setiap
bahasa isyarat memiliki kekhasan daerahnya masing-masing. Setiap daerah
memiliki perbedaan bahasa isyarat, tergantung seberapa jauh jarak daerah
tersebut. Semakin jauh daerah itu maka semakin berbedalah bahasa isyarat yang
digunakan. Bahasa isyarat digunakan oleh penyandang tunarungu dikarenakan
ketidakmampuan para tunarungu dalam menyerap dan memahami bahasa verbal yang
orang normal (orang yang bisa mendengar) lakukan. Apalagi jika penyandang
memiliki tingkat ketunarunguan yang berat atau total sejak dia lahir/ masih
muda. Sangat kecil kemungkinan mereka memahami.
Lantas
apa yang dapat membantu mereka? Sebetulnya kita yang bisa mendengar dan bicara
dapat membantu. Tapi kesadaran itu belum muncul, sehingga sampai sekarang
ketimpangan sosial masih sering menimpa mereka. Selain dalam bahasa dan
komunikasi, para penyandang tunarungu juga memiliki kesulitan dalam menyetarakan
hidup. Contohnya saja, pekerjaan. Masih jarang ada instansi besar yang mau
menerima pegawainya yang memiliki kecacatan seperti itu. Didalam menerima
informasi pula mereka mengalami kesulitan, baik dalam media tulis ataupun
lisan. Ada apa dengan tulis?? Bukankah itu malah mempermudah si tunarungu??
Sama saja. Karena sudah menjadi budaya tunarungu jika pola dan struktur kalimat
penyandang tunarungu terbolak-balik dikarenakan bahasa lisan mereka menggunakan
bahsa isyarat.
Sebetulnya
bisa terjadi komunikasi antara kita yang bisa mendengar dan mereka, asalakan
salah satu mau bertenggang rasa untuk mempelajari bahasa lawannya atau bersabar
menunggu terhubungnya komunikasi yang terjalin. Siapakah yang perlu mengalah???
Sekiranya kita yang bisa mendengar yang memiliki keadaan yang lebih sempurna
dari mereka. Tapi tidak bisa dipaksa.
Layanan
yang sekolah SLB pada umumnya berikan masih belum menunjang kemampuan tunarungu
dengan kurikulum yang masih seperti sekarang ini yang masih simpang siur
menggunakan bahasa isyarat atau melarang penggunaannya. Lagi-lagi salah satu
perlu mengalah dan yang lain perlu menghargai usaha itu. belum lagi keluarga
yang memiliki respon yang berbeda-beda. Ada yang menerima, ada pula yang tidak.
Ada yang mendukung, ada pula yang tidak. Ada yang mampu, ada pula yang tak
mampu.
Jika
keluarga itu menerima, pasti si penyandang akan didukung bagaimanapun aktivitas
positif dalam berbagai perkembangannya. Namun berbeda dengan keluarga yang
mampu dan yang tidak. Keluarga yang mampu dapat menyokong keterbatasannya
dengan memberikan layanan yang baik seperti sekolah yang bermutu, alat bantu
dengar yang berbagai macam bentuk dan jenisnya yang terbilang mahal karena
harganya sekitar 20 jutaan. Tapi yang tidak, ya apa adanya. Mengingat keadaan masyarakat Indonesia yang tingkat
perekonomiannya menengah ke bawah. Mengenai alat bantu dengar itu, hanya dapat
sedikit membantu pendengaran penyandang karena alat bantu dengar bukanlah untuk
memperjelas suara yang penyandang tunarungu dengar tetapi hanya untuk
mempereras volume suara saja. Apalagi itu dikenakan oleh penyandang tunarungu
total, tidak ada gunanya.
Mengenai
penerimaan kothbah untuk penyandang tunarungu sebenarnya sudah ada, namun masih
sangat sedikit. Di Solo belum ada yang menangani hal seperti itu. entah
bagaimana caranya, para tunarungu sangat membutuhkan penerjemah dalam
berkomunikasi dan menerima informasi.
10.
Romo Eko
Setahu
saya, sudah ada perkumpulan tunarungu yang mengikuti misa seperti itu tapi
hanya mereka yang pernah bersekolah di Wonosobo dengan angkatan tertentu pula
tentunya. Kegiatan tersebut berlangsung 2 bulan sekali. Entah sekarang masih
atau tidak, saya tidak mengikuti perkembangan tersebut.
Ini
karena perbedaan pendidikan yang ada di Indonesia antara pemakaian bahasa
isyarat atau oral. Perbedaan itu menyulitkan si anak sendiri. Sejauh ini belum
ada fasilitas khusus yang menunjang si penyandang tunarungu dalam menerima
kothbah. Jika saat pengakuan dosa berlangsung, tetap seperti tata cara
biasanya, namun yang terpenting bagaimana si penyandang dapat berkomunikasi
dengan baik dengan romo. Cara yang termudah ya dengan menggunakan media tulis
sampai terjalin suatu komunikasi yang timbal balik.
Untuk
pengajaran Babtis, Krisma, dan yang memerlukan pengajaran sejenis itu, dari
pihak gereja belum memberikan menyediakan fasilitas khusus untuk mereka. Memang
diperlukan penerjemah, tapi setahu saya belum ada pemerataan itu di berbagau
daerah.
Saat
misa berlangsung, cara alternatif yang bisa dilakukan selain menggunakan
penerjemah adalah meminta romo dan petugas misa menggunakan artikulasi yang
lebih jelas dalam pengucapannya sehingga sedikit mempermudah penyandang
tunarungu walaupun untuk memahami bahasa yang digunakan saat misa sangat sulit.
Tapi setidaknya dapat sedikit membantu penyandang tunarungu secara bertahap.
11.
Nadia Devina Arya Putri
Saya
menilai bahwa salah satu ketidak adilan yang dialami para penyandang tunarungu
pada umumnya yaitu dalam kesempatan kerja. Dalam kesempatan kerja itu, mereka
dibatasi karena tidak semua perusahaan
dapat menerima para tenaga kerjanya yang memiliki ketunarunguan.
12.
Pedagang Burjo dekat Poltekes Negeri Mojosongo, Solo
Saya
sudah terbiasa dengan kehadiran mereka di sini. Saya sering berkomunikasi
dengan bahasa isyarat mereka,walau terkadang saya kesulitan dalam memahami itu.
sayan berisyarat sejauh saya tahu. Saya melayani mereka dengan baik, tidak
mengalami kesulitan yang sangat. Dan mereka akhirnya betah mampir ke sini
dengan kawan-kawan mereka yang sejenis. Dan saya tidak merasa terganggu dengan
keberadaan mereka.
Terkadang
saya kasihan dengan mereka karena yang sering terjadi di warung ini ketika
mereka berkomunikasi baik dengan teman mereka, penerjemah maupun saya sendiri,
pengunjung lain yang datang langsung mengarahkan pandangan pada mereka. Seakan
bertanya dengan heran dan kaget, ada apa ini?? Dan memasang tampang kaget,
keheran-heranan, aneh dan semacamnya itu.
·
Sosial Budaya :
Kegiatan
yang dilaksanakan oleh GERKATIN Solo, perbedaan bahasa isyarat yang dimiliki
setiap daerah, bahasa isyarat tercipta alami dari tunarungu itu sendiri,
penggunaan oral (pembacaan gerak bibir) sering diterapkan dalam kehidupan
keluarga khususnya pada orangtua, adanya rasa minder terhadap respon
masyarakat, terkadang ada perlakuan kurang baik yang dihadirkan oleh pihak
keluarga terhadap penyandang,
·
Sosial Ekonomi :
Perbedaan
pendapatan tiap keluarga penyandang tunarungu yang tidak memungkinkan untuk
menunjang si penyandang dalam perkembangan bahasa dan komunikasi, kesulitan
penyandang tunarungu dalam mendapatkan pekerjaan yang layak,
·
Sosial Politik :
perbedaan
sistem pendidikan yang berada di sekolah dan keluarga, pemerintah; fasilitas
untuk menyokong penyandang tunarungu baik secara umum maupun khusus,
Dokumentasi
Ini adalah foto kami
setelah melakukan wawancara di acara Hipenca di Car Free Day di Jalan Slamet
Riyadi, Solo. Kami berfoto dengan 3 orang tunarungu yang masih memakai make up setelah
mereka melakukan pentas pantomim sederhana pada acara tersebut.
Ini
adalah komunitas yang kami kunjungi dalam kegiatan mereka memperjuangkan
kesetaraan dan kesejahteraan hidup mereka dalam sebuah acara Car Free Day.
Mereka membuka stand belajar bahasa isyarat gratis untuk masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar