Silau matahari menyempitkan pandangan ketika sedang ku seberangi jalan
ramai yang dipenuhi derap – derap langkah anak – anak sekolah yang berbaur
dengan bisingnya polusi. Selesai melakukan sesuatu, kusempatkan waktu untuk
turun kembali bersama mereka, keluarga
kedua disebuah rumah makan mungil. Lalu duduk aku disudut tempat dimana biasa
kujelajahi duniaku sendiri bersama mereka yang mengelilingi setelah menyapa dan
menebar sedikit senyuman untuk mereka. Bau keringat bercampur dengan kondisi yang
gerah terhirup disela hela napas karena teriknya surya yang menembus seng atap
rumah makan itu. Dengan segala kenyamanan, kupungut sebuah buku. Entah apa yang
kelak aku tulis dan lukis. Sebab semua telah terbiasa keluar bersamaan dengan
gerak tangan dan mataku.
Sejenak kusempatkan mengobrol tentang segala sesuatu yang ada bersama
mereka. Satu per satu mereka pulang bersamaan dengan waktu yang tak jarang
mereka buat sendiri menjadi seperti pemburu. Kini tinggal aku dengan para tetua
keluarga. Lama – kelamaan pembicaraan beralih kesebuah persoalan yang cukup
serius. Lalu apa lagi yang kita bicarakan selain kondisi keluarga kami. Semua
itu tak lantas menjadikanku merasa penat, sebaliknya aku semakin nyaman tinggal
bersama mereka walau tak mesti setiap jamnya.
Pesananku datang, secangkir coffemix dingin diletakkan di meja. Kami masih
disini karena waktu masih terlalu pagi untuk berpindah ke warung langganan kami
yang berada tak jauh di tempat kami sekarang. Disela penantian dan pembicaraan
terkadang terselip celotehan kotor serta banyolannya yang buat suasana semakin
riuh dan tak sempat lagi akrab bersendau dengan sumuknya hawa. Beberapa teguk minumanku, ku sedot untuk
menghilangkan rasa kering tenggorokan karena terlalu asyik mengobrol. Dan
mulailah lain yang terlihat didepan mataku kini. Gedung sekolah kian sepi
ditinggal para penghuninya. Hanya beberapa saja yang masih betah menunggu apa
yang seharusnya mereka tunggu.
Tak heran juga disela – sela celetukanku dan mereka, sempat juga timbul
kekosongan. Lantas pencuri waktu datang tiba – tiba. Mataku tertuju pada
seorang gadis manis yang berdiri dibawah sebuah pohon cukup rindang diseberang
jalan. Terlihat sedang menunggu jemputannya. Gadis berambut pendek dengan poni
menyamping ke kiri, masih dengan mimik kegelisahan yang sama dirasakan beberapa
orang di sekitarnya. Masih dengan sandangan warna putih abu – abu dengan tas
tersampir pada tubuhnya yang sintal, yang tetutup kulit putih. Sempat beberapa
kali kubuang pikiranku, namun masih saja betah mataku beralih terhadapnya.
Gadis yang indah.
Tak sengaja pun ku pergoki dia memandangku. Sesekali pula pandangan kami
beradu. Lalu dia tersenyum dan kembali mengalihkan pandangannya ke satu arah.
Mobil jemputan warna hitam datang. Berhenti tepat didepan rumah makan
tempatku duduk. Dia menyeberang dan membuka pintu, lalu masuk dan bersandar
di pojok dekat kaca mobil. Sebelum mobil beranjak, terlihat di kaca mobil warna
hitam transparan, gadis itu memandangku, melambaikan tangannya sambil
tersenyum.
Benar tak terpikir di benak. Senyum dan matanya indah.
Entah apa maksud dari lambaian tangan dan senyuman itu.
Dan hari pun berganti begitu saja, tapi aku masih mempertanyakannya.
* * *
Kisah itu yang awal kali anda ceritakan kepada saya. Dari anda yang menjadi
orang pertama yang mempu menggugah dan dekat dengan saya. Anda yang pertama
saya pandang.
Kisah tentang pertemuan anda yang pertama dengan sang kekasih yang tak kan
pernah dapat anda lupakan namun yang kini perlahan anda ikhlaskan menjadi milik
pria lain yang lebih berhak karena suatu hal. Entah suatu hal apapun itu, saya
tahu, cukup membuat anda sedikit terbarut. Lantas membuat saya berdenyit ketika
berulang kali terdengar dari mulut anda sendiri suatu hal tersebut anda
ceritakan selain kepada saya.
Benar tidaknya, saya tak tahu. Sebab saya hanya dapat percaya anda seperti
anda percaya saya sekarang.
Adzan berkumandang. Saya segera bangkit meninggalkan teras rumah yang mulai
basah diperciki tangisan awan yang belum sempat mengisyaratkan sesuatu kepada
hujan. Lantas menggeletakkan semua itu sehingga tertulis dibalik bantal kasur.
Berharap pelangi senantiasa selalu setia menunggu hujan tahu. Di bilik jendela
kabut nanti, besok, lusa, dan kapan.
Biarlah, tergeletak menjadi catatan usang termakan malam.
Satu tahun berlalu dengan penuh kebungahan, cerita, susah, sedih, kerinduan
dan amarah saya alami bersama anda. Kebungahan tentang keberhasilan masing –
masing yang sempat dicapai, cerita yang terkadang membuat keakraban semakin ada
dan kesusahan yang menyulut semangat yang sempat redup, kesedihan tentang
kenangan pertama berproses bersama anda dan mereka, kerinduan akan semuanya
serta amarah anda yang makin membuat saya semakin tetap teguh tidak berpaling
dan sadar bahwa anda semakin mengadakan saya.
Tetap cerita tentang dia masih sering saya dengar. Sampai terkadang saya
hanya melamun ketika mendengar atau malah menjauh ketika terdengar. Setelah
selesai barulah saya turun berkumpul dengan mereka yang mengobrol dengan anda.
Tapi ternyata, seseringnya, cerita belum berakhir, bahkan semakin bertambah
panjang. Ya buat saya, cukup menghela napas pelan, lantas menikmatinya kembali.
Indahnya, ketika anda memandang saya, anda meminta tolong saya untuk
membelikan sesuatu. Bermacam – macam; terkadang rokok, korek, gorengan, minuman
( yang paling sering coffemix ), atau malah obat. Mungkin anda mengerti jika
saya bosan. Dan saya dengan segera beranjak pergi. Namun, suatu ketika saat
kembali, pernah terdengar, “ Aku akan kaembali jikalau dia meminta . “ kata
anda. Saya sebenarnya belum mengikhlaskan jika hal itu terjadi, tapi mengingat
anda berusia sekian, saya hanya dapat bersyukur. Cukup saya saja yang tahu
tentang alasan ketidakikhlasan tersebut.
* * *
Di tahun selanjutnya. Entah apa yang dirasa masing – masing karena setiap
kejadian barulah terjadi akhir – akhir ini. Kini anda telah memiliki profesi
yang mulia seperti yang saya anggap selama ini sebagai rabi. Mungkin tidak sedekat dulu karena anda telah bergelut dengan
banyak murid disebuah sekolah swasta Islam yang mewah. Atau mungkin ini adalah
cara lain yang baru untuk bisa lebih memaknai sebuah pertemuan. Jawabannya
mungkin saya akan dapatkan setelah satu tahun terlalui. Tapi pasti akan lebih
terasa memang bahwa selama kesibukan anda masih tetaplah anda mengajar saya.
Suatu hari, memang disengaja, anda, saya, dan mereka berkumpul untuk
menyelesaikan sesuatu yang belum rampung setelah saya dan mereka selesai
membereskan persoalan sekolah dan pulang untuk berpamitan kembali. Seperti
biasa, mencuat lagi cerita tentang dia. Walau kini sudah tak terlalu sering dan
panjang. Saya tetap duduk disamping anda dan mendengarkan, meskipun hanya
sekedar masuk telinga kanan dan berlalu terus keluar ke telinga kiri. Entah apa
yang anda pikirkan; “ Tidak tahu, mungkin jika dia meminta untuk kembali, aku
belum tentu akan menurutinya. “ anda berkata seperti itu. Ternyata perlu
pemikiran satu tahun untuk memutuskannya. Tapi saya yakin bahwa terlalu sulit
untuk menjadikan anda ikhlas pada kepergian dia.
Mendengar pernyataan itu sebenarnya ada rasa sedih. Sampai sekarang belum
ada satu wanita yang mendampingi anda. Bahkan yang disebut sebagai kekasih.
Tapi ya sudahlah, toh itu semua kehidupan anda dan segala persoalan anda yang
hanya dapat anda yang menyelesaikan. Bukan saya ataupun mereka. Dan akhirnya,
suatu hari nanti pasti anda mendapat kebahagiaan itu. ( Ah, sok tua )
Dan saya pasti ikut berbahagia.
Suasana yang indah.
Tapi saya tentu akan merindukan saat dimana kita masih saling bercengkrama
dengan mereka juga. Saya pasti akan rindu ketika dengan senang hati saya segera
beranjak pergi ketika anda menyuruh saya membelikan rokok atau korek api atau
minuman atau obat sakit kepala, obat sakit gigi, atau obat apalah itu. Saya
rindu ketika dengan senang hati mencucikan baju anda yang tertinggal disuatu
tempat lalu mengembalikannya kepada anda dalam keadaan yang sudah bersih dan
wangi. Saya rindu ketika saya, anda ikut campurkan dalam sebuah aktivitas anda,
apapun itu. Saya rindu ketika dengan senangnya menerima baju milik anda (yang
sudah pernah anada pakai) yang anda berikan untuk saya saja. Saya rindu ketika
dengan senang hati bergantian tas dengan tas anda yang sudah kurang muat
diisikan barang – barang anda. Saya rindu ketika anda bercerita tentang
kehidupan anda yang bergejolak kepada saya sebagai orang pertama yang
mendengarkan. Saya rindu ketika rasa haru saya yang tidak mungkin saya
ungkapkan ketika anda bercerita tentang kesuksesan anda pada saya. Saya rindu
ketika anda mempercayakan saya sebagai bendahara anda dengan menitipkan uang
anda kepada saya. Saya rindu mendengar suara anda menyanyikan lagu – lagu yang
anda cipta dari sebuah puisi. Saya rindu ketika dengan hangatnya anda memeluk
saya. Saya rindu ketika saya memijat punggung anda ketika anda dalam keadaan
yang kurang sehat. Saya rindu ketika dengan penuh perasaan melukis wajah anda
ketika anda berumur 26 tahun, satu tahun yang lalu. Saya rindu tentang segala
kedekatan kita. Saya rindu kesedihan dan ketakutan saya ketika anda digeluti dengan
sebuah penyakit dan kesusahan. Saya rindu segala sesuatu bersama anda. Saya
rindu terhadap perasaan saya ketika anda terlihat di depan saya setelah sekian
lama tak berjumpa. Saya sangat rindu ketika anda benar – benar menjadi rabi
saya, apalagi ketika anda sedang marah. Dan saya sangat sadar sampai detik ini.
Terutama saya pasti akan rindu sangat pada perasaan saya yang tidak akan
mungkin saya ungkapkan untuk memiliki anda.
Saya sangat merindukan hal – hal itu, bahkan kelak. Yang tentu saya lakukan
itu semua dengan doa, keikhlasan dan
kepercayaan saya.
Sebab beginilah cara saya mencintai anda.
Maria
Sixma Nasta P
12 Mei
2011
22:55
Tidak ada komentar:
Posting Komentar