Selasa, 09 Oktober 2012

Tentang Cara


Silau matahari menyempitkan pandangan ketika sedang ku seberangi jalan ramai yang dipenuhi derap – derap langkah anak – anak sekolah yang berbaur dengan bisingnya polusi. Selesai melakukan sesuatu, kusempatkan waktu untuk turun kembali bersama mereka,  keluarga kedua disebuah rumah makan mungil. Lalu duduk aku disudut tempat dimana biasa kujelajahi duniaku sendiri bersama mereka yang mengelilingi setelah menyapa dan menebar sedikit senyuman untuk mereka. Bau keringat bercampur dengan kondisi yang gerah terhirup disela hela napas karena teriknya surya yang menembus seng atap rumah makan itu. Dengan segala kenyamanan, kupungut sebuah buku. Entah apa yang kelak aku tulis dan lukis. Sebab semua telah terbiasa keluar bersamaan dengan gerak tangan dan mataku.
Namun lain hari ini. Mungkin aku terlalu penuh dengan persoalan.
Sejenak kusempatkan mengobrol tentang segala sesuatu yang ada bersama mereka. Satu per satu mereka pulang bersamaan dengan waktu yang tak jarang mereka buat sendiri menjadi seperti pemburu. Kini tinggal aku dengan para tetua keluarga. Lama – kelamaan pembicaraan beralih kesebuah persoalan yang cukup serius. Lalu apa lagi yang kita bicarakan selain kondisi keluarga kami. Semua itu tak lantas menjadikanku merasa penat, sebaliknya aku semakin nyaman tinggal bersama mereka walau tak mesti setiap jamnya.
Pesananku datang, secangkir coffemix dingin diletakkan di meja. Kami masih disini karena waktu masih terlalu pagi untuk berpindah ke warung langganan kami yang berada tak jauh di tempat kami sekarang. Disela penantian dan pembicaraan terkadang terselip celotehan kotor serta banyolannya yang buat suasana semakin riuh dan tak sempat lagi akrab bersendau dengan sumuknya hawa. Beberapa teguk minumanku, ku sedot untuk menghilangkan rasa kering tenggorokan karena terlalu asyik mengobrol. Dan mulailah lain yang terlihat didepan mataku kini. Gedung sekolah kian sepi ditinggal para penghuninya. Hanya beberapa saja yang masih betah menunggu apa yang seharusnya mereka tunggu.
Tak heran juga disela – sela celetukanku dan mereka, sempat juga timbul kekosongan. Lantas pencuri waktu datang tiba – tiba. Mataku tertuju pada seorang gadis manis yang berdiri dibawah sebuah pohon cukup rindang diseberang jalan. Terlihat sedang menunggu jemputannya. Gadis berambut pendek dengan poni menyamping ke kiri, masih dengan mimik kegelisahan yang sama dirasakan beberapa orang di sekitarnya. Masih dengan sandangan warna putih abu – abu dengan tas tersampir pada tubuhnya yang sintal, yang tetutup kulit putih. Sempat beberapa kali kubuang pikiranku, namun masih saja betah mataku beralih terhadapnya.
Gadis yang indah.
Tak sengaja pun ku pergoki dia memandangku. Sesekali pula pandangan kami beradu. Lalu dia tersenyum dan kembali mengalihkan pandangannya ke satu arah.
Mobil jemputan warna hitam datang. Berhenti tepat didepan rumah makan tempatku duduk. Dia menyeberang dan membuka pintu, lalu masuk dan bersandar di pojok dekat kaca mobil. Sebelum mobil beranjak, terlihat di kaca mobil warna hitam transparan, gadis itu memandangku, melambaikan tangannya sambil tersenyum.
Benar tak terpikir di benak. Senyum dan matanya indah.
Entah apa maksud dari lambaian tangan dan senyuman itu.

Dan hari pun berganti begitu saja, tapi aku masih mempertanyakannya.

* * *
Kisah itu yang awal kali anda ceritakan kepada saya. Dari anda yang menjadi orang pertama yang mempu menggugah dan dekat dengan saya. Anda yang pertama saya pandang.
Kisah tentang pertemuan anda yang pertama dengan sang kekasih yang tak kan pernah dapat anda lupakan namun yang kini perlahan anda ikhlaskan menjadi milik pria lain yang lebih berhak karena suatu hal. Entah suatu hal apapun itu, saya tahu, cukup membuat anda sedikit terbarut. Lantas membuat saya berdenyit ketika berulang kali terdengar dari mulut anda sendiri suatu hal tersebut anda ceritakan selain kepada saya.
Benar tidaknya, saya tak tahu. Sebab saya hanya dapat percaya anda seperti anda percaya saya sekarang.
Adzan berkumandang. Saya segera bangkit meninggalkan teras rumah yang mulai basah diperciki tangisan awan yang belum sempat mengisyaratkan sesuatu kepada hujan. Lantas menggeletakkan semua itu sehingga tertulis dibalik bantal kasur. Berharap pelangi senantiasa selalu setia menunggu hujan tahu. Di bilik jendela kabut nanti, besok, lusa, dan kapan.
Biarlah, tergeletak menjadi catatan usang termakan malam.

Satu tahun berlalu dengan penuh kebungahan, cerita, susah, sedih, kerinduan dan amarah saya alami bersama anda. Kebungahan tentang keberhasilan masing – masing yang sempat dicapai, cerita yang terkadang membuat keakraban semakin ada dan kesusahan yang menyulut semangat yang sempat redup, kesedihan tentang kenangan pertama berproses bersama anda dan mereka, kerinduan akan semuanya serta amarah anda yang makin membuat saya semakin tetap teguh tidak berpaling dan sadar bahwa anda semakin mengadakan saya.
Tetap cerita tentang dia masih sering saya dengar. Sampai terkadang saya hanya melamun ketika mendengar atau malah menjauh ketika terdengar. Setelah selesai barulah saya turun berkumpul dengan mereka yang mengobrol dengan anda. Tapi ternyata, seseringnya, cerita belum berakhir, bahkan semakin bertambah panjang. Ya buat saya, cukup menghela napas pelan, lantas menikmatinya kembali.
Indahnya, ketika anda memandang saya, anda meminta tolong saya untuk membelikan sesuatu. Bermacam – macam; terkadang rokok, korek, gorengan, minuman ( yang paling sering coffemix ), atau malah obat. Mungkin anda mengerti jika saya bosan. Dan saya dengan segera beranjak pergi. Namun, suatu ketika saat kembali, pernah terdengar, “ Aku akan kaembali jikalau dia meminta . “ kata anda. Saya sebenarnya belum mengikhlaskan jika hal itu terjadi, tapi mengingat anda berusia sekian, saya hanya dapat bersyukur. Cukup saya saja yang tahu tentang alasan ketidakikhlasan tersebut.

* * *
Di tahun selanjutnya. Entah apa yang dirasa masing – masing karena setiap kejadian barulah terjadi akhir – akhir ini. Kini anda telah memiliki profesi yang mulia seperti yang saya anggap selama ini sebagai rabi. Mungkin tidak sedekat dulu karena anda telah bergelut dengan banyak murid disebuah sekolah swasta Islam yang mewah. Atau mungkin ini adalah cara lain yang baru untuk bisa lebih memaknai sebuah pertemuan. Jawabannya mungkin saya akan dapatkan setelah satu tahun terlalui. Tapi pasti akan lebih terasa memang bahwa selama kesibukan anda masih tetaplah anda mengajar saya.
Suatu hari, memang disengaja, anda, saya, dan mereka berkumpul untuk menyelesaikan sesuatu yang belum rampung setelah saya dan mereka selesai membereskan persoalan sekolah dan pulang untuk berpamitan kembali. Seperti biasa, mencuat lagi cerita tentang dia. Walau kini sudah tak terlalu sering dan panjang. Saya tetap duduk disamping anda dan mendengarkan, meskipun hanya sekedar masuk telinga kanan dan berlalu terus keluar ke telinga kiri. Entah apa yang anda pikirkan; “ Tidak tahu, mungkin jika dia meminta untuk kembali, aku belum tentu akan menurutinya. “ anda berkata seperti itu. Ternyata perlu pemikiran satu tahun untuk memutuskannya. Tapi saya yakin bahwa terlalu sulit untuk menjadikan anda ikhlas pada kepergian dia.
Mendengar pernyataan itu sebenarnya ada rasa sedih. Sampai sekarang belum ada satu wanita yang mendampingi anda. Bahkan yang disebut sebagai kekasih. Tapi ya sudahlah, toh itu semua kehidupan anda dan segala persoalan anda yang hanya dapat anda yang menyelesaikan. Bukan saya ataupun mereka. Dan akhirnya, suatu hari nanti pasti anda mendapat kebahagiaan itu. ( Ah, sok tua )
Dan saya pasti ikut berbahagia.
Suasana yang indah.
Tapi saya tentu akan merindukan saat dimana kita masih saling bercengkrama dengan mereka juga. Saya pasti akan rindu ketika dengan senang hati saya segera beranjak pergi ketika anda menyuruh saya membelikan rokok atau korek api atau minuman atau obat sakit kepala, obat sakit gigi, atau obat apalah itu. Saya rindu ketika dengan senang hati mencucikan baju anda yang tertinggal disuatu tempat lalu mengembalikannya kepada anda dalam keadaan yang sudah bersih dan wangi. Saya rindu ketika saya, anda ikut campurkan dalam sebuah aktivitas anda, apapun itu. Saya rindu ketika dengan senangnya menerima baju milik anda (yang sudah pernah anada pakai) yang anda berikan untuk saya saja. Saya rindu ketika dengan senang hati bergantian tas dengan tas anda yang sudah kurang muat diisikan barang – barang anda. Saya rindu ketika anda bercerita tentang kehidupan anda yang bergejolak kepada saya sebagai orang pertama yang mendengarkan. Saya rindu ketika rasa haru saya yang tidak mungkin saya ungkapkan ketika anda bercerita tentang kesuksesan anda pada saya. Saya rindu ketika anda mempercayakan saya sebagai bendahara anda dengan menitipkan uang anda kepada saya. Saya rindu mendengar suara anda menyanyikan lagu – lagu yang anda cipta dari sebuah puisi. Saya rindu ketika dengan hangatnya anda memeluk saya. Saya rindu ketika saya memijat punggung anda ketika anda dalam keadaan yang kurang sehat. Saya rindu ketika dengan penuh perasaan melukis wajah anda ketika anda berumur 26 tahun, satu tahun yang lalu. Saya rindu tentang segala kedekatan kita. Saya rindu kesedihan dan ketakutan saya ketika anda digeluti dengan sebuah penyakit dan kesusahan. Saya rindu segala sesuatu bersama anda. Saya rindu terhadap perasaan saya ketika anda terlihat di depan saya setelah sekian lama tak berjumpa. Saya sangat rindu ketika anda benar – benar menjadi rabi saya, apalagi ketika anda sedang marah. Dan saya sangat sadar sampai detik ini. Terutama saya pasti akan rindu sangat pada perasaan saya yang tidak akan mungkin saya ungkapkan untuk memiliki anda.
Saya sangat merindukan hal – hal itu, bahkan kelak. Yang tentu saya lakukan itu semua dengan doa,  keikhlasan dan kepercayaan saya.
Sebab beginilah cara saya mencintai anda.

Maria Sixma Nasta P
12 Mei 2011
22:55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar