Senin, 29 Oktober 2012

GADIS KECIL dan KOREK API


Setiap Natal tiba, aku selalu memimpikan memiliki sebuah kado yang yang aku terima dari Santa Claus atau orang Jawa  sering menyebutnya Sinter Klas. Para orang tua sering menceritakan tentangnya. Menceritakan kepada anak-anak tentang syarat mempunyai sebuah kado dari Santa Claus. Entah itu hanya mitos atau sesuatu yang benar-benar terjadi. Namun yang pasti sampai aku dewasa belumlah sekalipun sebuah kado muncul untukku pada hari Natal. Aku sadar bahwa dulu aku adalah anak yang nakal,banyak berbuat dosa sehingga satupun kado yang hinggap di tanganku. Santa Claus tidak akan pernah memberikan kado untuk anak yang selama 1 tahun ini melakukan banyak perbuatan yang tidak baik.
Dibalik rasa ingin memiliki itu, ada sebauh cerita yang membuatku selalu mensyukuri setiap Natal yang aku lalui. Yang membuat sadar bahwa kado bukanlah tujuan utama dari sebuah Natal. Melainkan semua itu tersirat ketika ku baca sebuah buku cerita karya Hans Cristian Andersen. Dengan judul “Gadis Kecil dan Korek Api”. Ceritanya seperti ini.

GADIS KECIL DAN KOREK API
Cuaca dingin sekali. Seharian ini salju turun terus. Seorang gadis kecil berjalan menyusuri jalan sempit yang gelap. Tangan dan kakinya yang telanjang biru karena kedinginan.
Waktu berangkat dari rumah tadi, dia memakai sandal. Tapi sandal itu sandal ibunya. Sandal yang sebelah kanan terlepas ketika dia berlari menyeberang jalan. Yang kiri terjatuh, lalu diambilnya dan dibawa lari seorang anak yang sama miskinnya dengan dia.
Tangan gadis kecil yang kurus itu memegang segenggam korek api. Angin dingin tertiup menembus bajunya yang bertambal-tambal dan menyengat pipinya yang pucat. Sudah berjam-jam dia menyusur jalan-jalan yang tertutup salju, menjajakkan korek api. Tapi malam ini adalah malam natal. Semua orang ingin buru-buru pulang, sehingga mereka tidak memperhatikan gadis itu.
“Aku tak berani pulang.” Pikir si gadis sedih. “Ayah pasti marah kalau korek apiku tak laku.”
Gadis itu membayangkan rumahnya yang kecil dan bobrok. Dindingnya yang retak-retak disumbat dengan jerami dan kain-kain tua, agar angin dingin tidak masuk. “, lebih baik aku tinggal di sini saja. Meskipun lampu-lampu toko sudah mulai dipadamkan dan jalanan sudah sepi,” gadis itu memutuskan.
Di ujung jalan, dua buah rumah berdinding batu berdiri berdekatan. Gadis kecil itu duduk di antaranya. Dia meringkuk menahan dingin. Salju masih terus turun.
Ah, kalau saja dia berani menyalakan sebatang korek api untuk menghangatkan jari-jarinya yang membeku! Gadis itu ragu-ragu. Tapi akhirnya diambilnya sebatang korek api dan digoreskannya kedinding. Betapa indahnya api berkilau dalam gelap, bagai nyala lilin. Sejenak gadis itu merasa dia duduk di depan pediangan dalam sebuah ruangan yang indah. Api di pediangan itu menari-nari, seakan mengundangnya. Gadis itu mengulurkan kedua tangan dan kakinya, untuk menghangatkannya. Sayang, api itu padam dan bayangan indah itu lenyap.
Ketika gadis itu menyalakan korek apinya yang kedua, cahayanya jatuh ke dinding. Dinding itu seakan berubah menjadi ruangan. Ditengahnya ada sebuah meja dengan taplak putih bersih dan piring-piring porselen. Di atas meja, ada sebuah piring perak, berisi angsa panggang dengan buah apel dan prem. Hmm, betapa lezat baunya! Masih banyak lagi makanan lainnya, sehingga si gadis kecil bingung, tak tahu mana dulu yang akan dimakannya. Tiba-tiba angsa panggang itu menggelinding jatuh di dekat kakinya. Tapi ketika dia mengulurkan tangan, korek apinya padam dan yang disentuhnya hanya diding yang dingin.
Kini gadis kecil itu menyalakan korek apinya yang ke tiga. Tiba-tiba dia merasa dibawah sebuah pohon Natal yang amat besar, lebih besar dan lebih bagus dari pohon Natal yang pernah dilihatnya di etalase toko. Beratus-ratus lilin berkelip-kelip di dahan-dahan hilau. Syahdu sekali. Si gadis kecil tersenyum gembira. Diulurkannya tangannya ke arah lilin-lilin. Tapi lilin-lilin itu naik semakin tinggi. Lalu korek api padam dan si gadis melihat bahwa lilin-lilin yang kini jauh tinggi di atas ternyata bintang-bintang. Sebuah bintang jatuh. Meluncur, meninggalkan seleret sinar terang di langit. Gadis itu ingat neneknya, satu-satunya orang yang mencintainya. Dulu, sebelum meninggal, neneknya pernah bercerita tentang surga.
“Alangkah senangnya jika bisa bertemu Nenek lagi,” pikirnya sambil menyalakan korek api yang keempat. Korek apinya menyala dan lihatlah, dalam nyala api itu muncul wajh neneknya, berseri-seri seperti ketika beliau masih hidup.
“Jangan tinggalkan aku, Nek,” bisik si gadis. “Aku tahu nenek akan menghilang begitu korek api ini padam. Jangan pergi lagi, Nek. Temani aku!” dan dia tergesa-gesa menyalakan korek apainya satu demi satu. Nyalanya terang sekali, bagai matahari yang bersinar. Belum pernah neneknya kelihatan secantik ini! Kemudian dia menyalakan korek apinya yang terakhir. Neneknya mengembangkan lengannya dan memeluknya.
Korek api itu berkedip, lalu padam dan terjatuh dari tangan gadis cilik yang kini kaku dan dingin. Keesokan paginya, pada hari Tahun Baru, mayat si gadis cilik di temukan oleh orang-orang yang lewat.
“Kasihan,” kata seorang wanita. “Pasti dia meninggal karena kedinginan!”
Tapi dia kelihatan bahagia,” bisik temannya. “ seakan dia melihat sesuatu yang indah sebelum meninggal.”

Dari cerita itu, aku mendapat pelajaran yang masih aku pegang sampai sekarang bahwa kita perlu bersyukur tentang keadaan apapun yang kita alami sampai sekarang, masih memiliki keluarga, semua kebutuhan tercukupi, orang-orang yang mencintai kita, segalanya baik untuk kita miliki sudah disediakan oleh Tuhan, kapanpun, dimanapun, dan siapapun perantaranya untuk kita. Sampai Santa Claus yang asli berani memunculkan dirinya dihadapan kita masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar