Setiap Natal tiba, aku selalu memimpikan memiliki sebuah kado
yang yang aku terima dari Santa Claus atau orang Jawa sering menyebutnya Sinter Klas. Para orang
tua sering menceritakan tentangnya. Menceritakan kepada anak-anak tentang
syarat mempunyai sebuah kado dari Santa Claus. Entah itu hanya mitos atau
sesuatu yang benar-benar terjadi. Namun yang pasti sampai aku dewasa belumlah
sekalipun sebuah kado muncul untukku pada hari Natal. Aku sadar bahwa dulu aku
adalah anak yang nakal,banyak berbuat dosa sehingga satupun kado yang hinggap
di tanganku. Santa Claus tidak akan pernah memberikan kado untuk anak yang
selama 1 tahun ini melakukan banyak perbuatan yang tidak baik.
Dibalik rasa ingin memiliki itu, ada sebauh cerita yang
membuatku selalu mensyukuri setiap Natal yang aku lalui. Yang membuat sadar
bahwa kado bukanlah tujuan utama dari sebuah Natal. Melainkan semua itu
tersirat ketika ku baca sebuah buku cerita karya Hans Cristian Andersen. Dengan
judul “Gadis Kecil dan Korek Api”. Ceritanya seperti ini.
GADIS KECIL DAN KOREK API
Cuaca dingin sekali. Seharian ini salju turun terus. Seorang
gadis kecil berjalan menyusuri jalan sempit yang gelap. Tangan dan kakinya yang
telanjang biru karena kedinginan.
Waktu berangkat dari rumah tadi, dia memakai sandal. Tapi
sandal itu sandal ibunya. Sandal yang sebelah kanan terlepas ketika dia berlari
menyeberang jalan. Yang kiri terjatuh, lalu diambilnya dan dibawa lari seorang
anak yang sama miskinnya dengan dia.
Tangan gadis kecil yang kurus itu memegang segenggam korek
api. Angin dingin tertiup menembus bajunya yang bertambal-tambal dan menyengat
pipinya yang pucat. Sudah berjam-jam dia menyusur jalan-jalan yang tertutup
salju, menjajakkan korek api. Tapi malam ini adalah malam natal. Semua orang
ingin buru-buru pulang, sehingga mereka tidak memperhatikan gadis itu.
“Aku tak berani pulang.” Pikir si gadis sedih. “Ayah pasti
marah kalau korek apiku tak laku.”
Gadis itu membayangkan rumahnya yang kecil dan bobrok.
Dindingnya yang retak-retak disumbat dengan jerami dan kain-kain tua, agar
angin dingin tidak masuk. “, lebih baik aku tinggal di sini saja. Meskipun
lampu-lampu toko sudah mulai dipadamkan dan jalanan sudah sepi,” gadis itu
memutuskan.
Di ujung jalan, dua buah rumah berdinding batu berdiri
berdekatan. Gadis kecil itu duduk di antaranya. Dia meringkuk menahan dingin.
Salju masih terus turun.
Ah, kalau saja dia berani menyalakan sebatang korek api untuk
menghangatkan jari-jarinya yang membeku! Gadis itu ragu-ragu. Tapi akhirnya
diambilnya sebatang korek api dan digoreskannya kedinding. Betapa indahnya api
berkilau dalam gelap, bagai nyala lilin. Sejenak gadis itu merasa dia duduk di
depan pediangan dalam sebuah ruangan yang indah. Api di pediangan itu
menari-nari, seakan mengundangnya. Gadis itu mengulurkan kedua tangan dan
kakinya, untuk menghangatkannya. Sayang, api itu padam dan bayangan indah itu
lenyap.
Ketika gadis itu menyalakan korek apinya yang kedua,
cahayanya jatuh ke dinding. Dinding itu seakan berubah menjadi ruangan.
Ditengahnya ada sebuah meja dengan taplak putih bersih dan piring-piring
porselen. Di atas meja, ada sebuah piring perak, berisi angsa panggang dengan
buah apel dan prem. Hmm, betapa lezat baunya! Masih banyak lagi makanan
lainnya, sehingga si gadis kecil bingung, tak tahu mana dulu yang akan
dimakannya. Tiba-tiba angsa panggang itu menggelinding jatuh di dekat kakinya.
Tapi ketika dia mengulurkan tangan, korek apinya padam dan yang disentuhnya
hanya diding yang dingin.
Kini gadis kecil itu menyalakan korek apinya yang ke tiga.
Tiba-tiba dia merasa dibawah sebuah pohon Natal yang amat besar, lebih besar
dan lebih bagus dari pohon Natal yang pernah dilihatnya di etalase toko.
Beratus-ratus lilin berkelip-kelip di dahan-dahan hilau. Syahdu sekali. Si
gadis kecil tersenyum gembira. Diulurkannya tangannya ke arah lilin-lilin. Tapi
lilin-lilin itu naik semakin tinggi. Lalu korek api padam dan si gadis melihat
bahwa lilin-lilin yang kini jauh tinggi di atas ternyata bintang-bintang.
Sebuah bintang jatuh. Meluncur, meninggalkan seleret sinar terang di langit.
Gadis itu ingat neneknya, satu-satunya orang yang mencintainya. Dulu, sebelum
meninggal, neneknya pernah bercerita tentang surga.
“Alangkah senangnya jika bisa bertemu Nenek lagi,” pikirnya
sambil menyalakan korek api yang keempat. Korek apinya menyala dan lihatlah,
dalam nyala api itu muncul wajh neneknya, berseri-seri seperti ketika beliau
masih hidup.
“Jangan tinggalkan aku, Nek,” bisik si gadis. “Aku tahu nenek
akan menghilang begitu korek api ini padam. Jangan pergi lagi, Nek. Temani aku!”
dan dia tergesa-gesa menyalakan korek apainya satu demi satu. Nyalanya terang
sekali, bagai matahari yang bersinar. Belum pernah neneknya kelihatan secantik
ini! Kemudian dia menyalakan korek apinya yang terakhir. Neneknya mengembangkan
lengannya dan memeluknya.
Korek api itu berkedip, lalu padam dan terjatuh dari tangan
gadis cilik yang kini kaku dan dingin. Keesokan paginya, pada hari Tahun Baru,
mayat si gadis cilik di temukan oleh orang-orang yang lewat.
“Kasihan,” kata seorang wanita. “Pasti dia meninggal karena
kedinginan!”
Tapi dia kelihatan bahagia,” bisik temannya. “ seakan dia
melihat sesuatu yang indah sebelum meninggal.”
Dari cerita itu, aku mendapat pelajaran yang masih aku pegang
sampai sekarang bahwa kita perlu bersyukur tentang keadaan apapun yang kita
alami sampai sekarang, masih memiliki keluarga, semua kebutuhan tercukupi,
orang-orang yang mencintai kita, segalanya baik untuk kita miliki sudah
disediakan oleh Tuhan, kapanpun, dimanapun, dan siapapun perantaranya untuk
kita. Sampai Santa Claus yang asli berani memunculkan dirinya dihadapan kita
masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar